Terjemah Safinah Fasal Hal yang Mewajibkan Mandi Besar

Diposting pada

Terjemah Safinah Fasal Hal yang Mewajibkan Mandi Besar – Fasal ini menjelaskan tentang hal yang mewajibkan mandi besar. Perkara-perkara yang mewajibkan mandi besar atas laki-laki dan perempuan ada 6 (enam).

3 (tiga) diantaranya dialami oleh masing-masing laki-laki dan perempuan, yaitu masuknya khasyafah ke dalam farji, keluarnya sperma, dan mati.

Sedangkan 3 (tiga) sisanya hanya dialami oleh perempuan, yaitu haid, nifas, dan melahirkan. Terjemah Safinah Fasal Hal yang Mewajibkan Mandi Besar

Masuknya Khasyafah ke dalam Farji

Perkara pertama yang memerlukan mandi bagi laki-laki adalah menancapkan khasyafah, yaitu memasukkan seluruh khasyafah ke dalam farji.

Jika yang dimasukkan bukan khasyafah bagi orang yang memilikinya, atau hanya sebagian khasyafah bagi orang yang tidak memilikinya, maka tidak ada kewajiban mandi.

Ini berlaku meskipun memasukkannya dilakukan secara tidak sengaja atau ketika dalam kondisi tidur.

Farji yang dimaksud dapat berupa qubul perempuan atau binatang, atau lubang dzakar orang lain, baik yang masih kecil atau sudah tua, yang masih hidup atau sudah mati, atau bahkan dubur sendiri.

Kesimpulannya adalah bahwa apabila lafadz ghaslu dibaca dengan dhommah pada huruf GHA maka berarti mandi, dan apabila ia dibaca dengan fathah pada huruf GHA maka berarti membasuh.

Menurut bahasa, ghusl GUSLI dengan dhommah pada huruf GHU berarti mengalirnya air ke sesuatu, baik sesuatu itu adalah tubuh atau yang lainnya, secara mutlak, artinya, baik disertai dengan niat atau tidak.

Menurut istilah, ghusl berarti mengalirnya air ke seluruh tubuh dengan disertai niat tertentu, meskipun hukum niat tersebut disunahkan, seperti dalam memandikan mayit.

Lafadz ( الغسل ) dengan kasroh pada huruf غ berarti sesuatu yang digabungkan dengan air mandi, seperti; daun bidara.

Perempuan yang farjinya dimasuki oleh dzakar apapun, termasuk binatang, mayit laki-laki, atau anak laki-laki kecil (shobi), wajib mandi.

Begitu juga laki-laki yang dubur atau dzakarnya dimasuki oleh dzakar orang lain. Mayit tidak perlu mandi ulang jika farjinya atau dzakarnya dimasuki.

Shobi dan orang gila yang farjinya dimasuki (oleh khasyafah) pasti memiliki status junub.

Mereka juga menjadi junub jika memasukkan farji. Jika shobi sudah mandi dan telah tamyiz, mandinya sah dan tidak perlu mandi ulang setelah baligh.

Wali wajib memerintahkan shobi yang telah tamyiz untuk mandi seketika itu, seperti memerintahkannya melakukan wudhu.

Kewajiban mandi karena menancapkan khasyafah ke dalam farji, baik disertai dengan keluarnya sperma atau tidak.

Hadis dari Aisyah menjadi dalil kewajiban mandi karena menancapkan khasyafah ke dalam farji, yaitu Rasulullah bersabda, “Ketika dua persunatan saling bertemu atau satu persunatan mengenai persunatan yang lain, wajib mandi.” Ia dan Rasulullah kemudian melakukan gituan dan mandi.

Masuknya khasyafah yang memerlukan mandi harus sampai pada bagian farji yang tidak perlu dibasuh saat istinja.

Jika khasyafah hanya masuk sampai pada bagian farji yang masih perlu dibasuh saat istinja, maka tidak perlu mandi.

Jika seorang laki-laki masuk ke dalam farji perempuan, maka keduanya tetap wajib mandi karena khasyafah laki-laki tersebut secara tidak langsung ikut masuk ke dalam farji.

Pezina tidak perlu mandi jinabat segera setelah berzina, tetapi orang yang sengaja mengotori tubuhnya dengan najis harus segera menghilangkannya karena kemaksiatannya masih berlangsung selama najis masih menempel.

Keluarnya Sperma

Perkara kedua yang memerlukan mandi adalah keluarnya sperma dari seseorang, baik saat sadar maupun tidur, baik dari lubang biasa (mu’tad) atau lubang lain (ghoiru mu’tad).

Jika sperma keluar dari lubang ghoiru mu’tad, maka kewajiban mandi hanya terjadi jika sperma tersebut keluar dengan jelas, tidak karena penyakit tertentu, dan bersumber dari tulang punggung laki-laki atau tulang dada perempuan, asalkan lubang mu’tad asli tidak tertutup atau tersumbat.

Jika lubang mu’tad tertutup atau tersumbat secara asli, maka mandi wajib dilakukan segera, baik sperma bersumber dari tulang punggung atau tidak, asalkan lubang tersebut bukan termasuk lubang yang ada sejak lahir.

Mandi juga wajib jika seseorang telah memotong dzakarnya, kemudian sperma masih ada di dalam potongan dzakar, meskipun tidak ada sperma yang keluar secara jelas dari bagian dzakar yang terpotong atau yang tersisa.

Sperma yang ada di dalam bagian dzakar yang terpotong termasuk dalam hukum keluarnya sperma

Jika seseorang merasa spermanya keluar, namun berhasil menahannya sehingga tidak ada yang terpisah dari batang dzakarnya, maka ia tidak diwajibkan mandi, tetapi dianggap telah baligh karena telah mengeluarkan sperma hingga batang dzakarnya.

Bahkan jika hal ini terjadi saat sholat, ia tetap harus menyempurnakan sholatnya karena sudah melaksanakan kewajiban sholat.

Ini berlaku untuk orang yang memiliki dzakar tulen. Namun bagi khuntsa, ia tidak diwajibkan mandi kecuali jika sperma keluar dari kedua farjinya secara bersamaan.

Jika hanya keluar dari salah satu farji saja, maka ia tidak diwajibkan mandi karena mungkin saja farji dimana spermanya keluar adalah alat kelamin tambahan yang terbuka, bukan farji asli yang biasa mengeluarkan sperma.

Untuk khuntsa, haid dianggap seperti sperma. Jika khuntsa mengeluarkan sperma dari salah satu farjinya dan haid dari farji yang lain, maka ia diwajibkan mandi.

Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar sperma yang keluar dari diri seseorang memerlukan mandi. Misalnya, sperma harus keluar dari diri seseorang sendiri, bukan dari orang lain.

Oleh karena itu, sperma yang keluar dari istri saat melakukan jimak pada dubur atau qubul tidak memerlukan mandi ulang jika ia sudah mandi sebelumnya.

Namun, jika istri mencapai syahwat ketika melakukan jimak dan tidak dipaksa atau diperkosa, serta sadar (tidak tidur), maka ia harus mandi ulang karena sperma yang keluar mungkin tercampur dengan sperma suaminya.

Hal ini diterapkan berdasarkan keyakinan persangkaan seperti masalah saat istri mengeluarkan sperma saat tidur.

Ada beberapa keadaan yang membebaskan seseorang dari kewajiban mandi ulang setelah sperma keluar dari diri mereka.

Misalnya, jika istri tidak mencapai syahwat karena masih bocah, atau karena tidak memiliki syahwat sama sekali, atau karena tidak mencapainya saat dijimak dalam keadaan tidur atau dipaksa (diperkosa), maka ia tidak perlu mandi ulang.

Kewajiban mandi ulang juga tidak berlaku bagi istri yang gila atau majnunah yang mungkin juga bisa mencapai syahwat.

Selain itu, jika seseorang telah mandi, lalu memasukkan sperma ke dalam farjinya, kemudian sperma keluar dari farjinya untuk yang kedua kalinya, maka ia tidak perlu mandi ulang.”

Perlu diketahui bahwa keluarnya sperma merupakan hal yang mewajibkan mandi, baik disertai dengan memasukkan khasyafah atau tidak.

Sedangkan memasukkan khasyafah juga merupakan hal yang mewajibkan mandi, baik ketika disertai dengan keluarnya sperma atau tidak.

Oleh karena itu, ada pengertian umum dan khusus antara kedua hal tersebut. Namun, bermimpi tidak mewajibkan mandi kecuali jika disertai dengan keluarnya sperma.”

Ciri-ciri Sperma

Perlu diketahui bahwa cairan sperma memiliki tiga ciri yang membedakannya dari cairan madzi dan wadi.

Ciri-ciri tersebut adalah:

(1) sperma memiliki bau seperti adonan roti atau bunga sari kurma ketika masih basah, dan seperti bau putih-putih telur ketika sudah kering;

(2) sperma keluar dengan muncrat, sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah: “Manusia diciptakan dari air yang muncrat”; dan

(3) ada rasa enak ketika sperma keluar.

Tidak perlu semua tiga ciri tersebut ditemukan untuk disebut sebagai cairan sperma, tetapi jika salah satu dari ketiga ciri tersebut ditemukan, maka cairan itu pasti disebut sperma.

Menurut pendapat rojih dalam kitab ar-Roudhoh, ciri-ciri sperma perempuan sama dengan ciri-ciri sperma laki-laki yang telah disebutkan di atas.

Namun, dalam kitab Syarah Muslim disebutkan bahwa ciri keluar dengan muncrat tidak harus ada pada sperma perempuan. Pendapat ini diikuti oleh Ibnu Sholah.”

Haid

Hal ketiga yang mewajibkan mandi adalah haid, yaitu darah yang secara tabiat keluar dari dasar rahim perempuan pada waktu-waktu tertentu.

Rahim adalah lapisan di dalam farji yang memiliki lubang sempit dan ruang luas, seperti guci.

Lubang sempit ini mengarah ke lubang farji, tempat sperma masuk. Setelah sperma masuk, lubang sempit tersebut akan menutup dan tidak bisa menampung sperma lain.

Oleh karena itu, Allah menetapkan hukum-Nya bahwa Dia tidak akan menciptakan anak dari sperma dua laki-laki yang berbeda.”

Darah istihadhoh adalah darah penyakit yang keluar dari otot-otot lubang farji di bagian pangkal rahim, baik setelah haid atau sebelumnya, dan baik sebelum atau sesudah baligh, menurut pendapat Ashoh yaitu pendapat yang menyatakan bahwa darah yang keluar dari farji perempuan bocah atau tua disebut darah istihadhoh.

Ada juga yang mengatakan bahwa darah yang keluar disebut darah istihadhoh jika keluarnya setelah haid.

Dalil Kewajiban Mandi Sebab Haid

Aisyah meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda, “Jika seorang perempuan mengalami haid, maka ia tidak boleh melakukan sholat.

Ketika masa haidnya telah usai, ia harus membersihkan darah haidnya dan baru melakukan sholat.”

Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim, dan dalam riwayat Bukhori disebutkan, “Kemudian mandilah dan sholatlah.

Nifas

Perkara keempat yang mewajibkan mandi adalah nifas, yaitu darah yang keluar setelah rahim kosong dari kehamilan, meskipun darah tersebut berupa darah kempal atau daging kempal, sebelum terlewatnya masa minimal suci (15 hari).

Dari pengertian nifas di atas, dikecualikan dengannya adalah darah yang keluar bersamaan dengan anak yang dilahirkan atau darah yang keluar ketika mengalami talaq (yaitu keadaan merasa sakit saat akan melahirkan), maka kedua darah ini disebut darah fasad jika keluarnya tidak bersambung dengan darah haid sebelumnya, tetapi jika bersambung dengan darah haid sebelumnya maka disebut darah haid, bukan darah fasad, berdasarkan pendapat ashoh yang menyebutkan bahwa perempuan hamil juga dapat mengalami haid.

Masalah Terkait Nifas

Jika seorang perempuan yang telah melahirkan tidak menyadari keluarnya darah selama lebih dari 15 hari setelah kelahiran, maka ia tidak mengalami nifas.

Namun jika ia menyadari keluarnya darah sebelum terlewatnya 15 hari setelah melahirkan, seperti darah yang keluar terlambat dari waktu melahirkan, maka masa nifasnya dimulai dari saat ia menyadari keluarnya darah tersebut.

Masa-masa berakhirnya darah tidak termasuk masa nifas, tetapi masa-masa tersebut masuk dalam hitungan 60 hari.

Oleh karena itu, ia wajib mengqodho sholat yang tidak dilakukan selama masa berakhirnya darah tersebut.

Setelah melahirkan, perempuan wajib mandi. Hal ini berlaku meskipun hanya melahirkan salah satu anak dari dua kembar.

Oleh karena itu, mandi adalah kewajiban setelah melahirkan salah satu anak, dan mandi tersebut sah sebelum melahirkan anak yang lain.

Kemudian, ketika perempuan melahirkan anak yang lain, ia harus mandi lagi. Kewajiban mandi karena melahirkan juga berlaku untuk darah kempal atau daging kempal, asalkan ada konfirmasi dari ahli bidan bahwa darah kempal atau daging kempal tersebut merupakan asal terbentuknya manusia. Informasi dari satu ahli bidan saja sudah cukup.

Perempuan yang melahirkan anak harus mandi untuk membersihkan diri setelah melahirkan, meskipun keluarnya anak tersebut tidak membatalkan wudhu.

Suami diperbolehkan untuk menjimak istrinya yang telah melahirkan jika ia belum mandi karena melahirkan, tetapi jika perempuan yang melahirkan anak keluar dalam kondisi basah, maka suami tidak diperbolehkan untuk menjimaknya sebelum ia mandi.

Puasa juga dapat batal karena melahirkan anak, baik mengalami nifas atau tidak, karena hakikat melahirkan sendiri merupakan perkara yang membatalkan puasa meskipun tidak ada nifas yang dialami.

Namun, jika perempuan hanya melahirkan sebagian tubuh anak yang kering, maka wudhunya batal dan ia tidak perlu mandi.

Hal ini juga berlaku jika anak yang dikeluarkan kembali masuk ke dalam rahimnya, wudhunya batal dan ia tidak perlu mandi.

Mati

Perkara keenam yang mewajibkan mandi adalah kematian bagi orang muslim yang bukan mati syahid. Orang kafir yang meninggal tidak wajib dimandikan, tetapi boleh dimandikan.

Orang muslim yang meninggal sebagai syahid tidak wajib dimandikan, bahkan haram dimandikan karena sabda Rasulullah saw yang menjelaskan tentang orang-orang yang mati syahid, “Janganlah kalian memandikan mereka [yang mati syahid] karena setiap luka [dari mereka] akan semerbak bau misik di Hari Kiamat!”

Termasuk dalam sabda Rasulullah saw tersebut adalah bayi yang gugur, yang tidak mengalami kehidupan, yang dilahirkan setelah waktunya (setelah berusia 4 bulan), yang tidak ada tanda-tanda kehidupan darinya, (maka tidak wajib dimandikan, tetapi boleh dimandikan).

Mandi adalah kewajiban bagi orang-orang yang hidup setelah seseorang meninggal.

Dalam hal ini, kewajiban mandi dapat dibebankan pada pelaku atau orang lain, seperti ditunjukkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, dimana Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama bersabda tentang orang yang ihram yang meninggal karena terinjak untanya: “Mandikanlah dia dengan air dan air campuran daun bidara.”

Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim. Dari hadis ini dapat diketahui bahwa perintah memandikan orang yang meninggal adalah wajib.

Terjemah Safinah Fasal Hal yang Mewajibkan Mandi Besar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *