Dalam fasal ini, mushanif akan menjelaskan tentang fardhu puasa, syarat puasa, hal yang membatalkan puasa dan kewajiban bagi orang meninggalkan puasa. Berikut adalah terjemah fathul qorib kitab puasa. Selamat membaca.
Terjemah Fathul Qorib Kitab Puasa
Puasa menurut bahasa mempunyai arti “menahan diri”. Sedang menurut syara, ialah menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa dengan niat tertentu. (dikerjakan) sepanjang hari oleh orang yang bisa diterima puasanya. Pertama, beragama Islam. Kedua, berakal sehat. Ketiga, suci dari haid dan nifas.
Syarat Wajib Puasa
Syarat-syarat kewajiban mengerjakan puasa ada 3 perkara.
Dalam sebagian keterangan redaksi kitab lain ada 4 perkara. yaitu Islam, sudah baligh, berakal sehat, mampu untuk mengerjakan puasa.
Syarat yang keempat ini adalah yang ditiadakan pada keterangan redaksi kitab lain yang memberikan syarat kewajiban berpuasa hanya 3 hal.
Dengan demikian Maka berpuasa tidaklah wajib bagi orang-orang yang mempunyai ciri-ciri yang bertentangan dengan syarat-syarat yang tersebut.
Fardhu Puasa
Adapun beberapa fardhu nya berpuasa ada 4 perkara.
Pertama, Niat dalam hati. Maka jika puasa itu puasa fardhu seperti puasa ramadhan atau puasa nadzar, maka harus niat puasa saat malam hari.
Dan hukumnya wajib menjelaskan tentang puasa fardhu seperti menjelaskan berpuasa “Ramadhan”.
Dan niat yang paling sempurna tentang puasa Ramadhan ialah, seperti apabila seseorang Itu mengucap “Kami berniat hendak berpuasa esok hari untuk menunaikan fardhunya puasa Ramadhan yang jatuh pada tahun ini, semata-mata karena Allah Taala.
Kedua, menahan diri dari makan dan minum sedikit dan sengaja.
Dengan demikian, jika dia (makan dan minum) dalam keadaan lupa atau bodoh, maka puasa orang tersebut tidak batal. Jika orang tersebut baru masuk agama Islam, atau dia tumbuh hidup jauh dari para Ulama.
Dan jika tidak demikian persoalannya rnaka batal puasa nya.
Ketiga, bersetubuh secara sengaja.
Adapun hubungan sebadan dalam keadaan lupa hukumnya sama seperti makan dalam keadaan lupa.
Keempat, sengaja muntah.
Maka, seandainya muntah-muntah itu tdak tertahankan lagi oleh seseorang (lalu keluar dengan sendirinya tanpa ada unsur kesengajaan) maka puasa orang tersebut tidak batal.
Hal yang membatalkan puasa
Hal yang dapat membatalkan puasa ada 10.
Pertama dan kedua, Masuknya sesuatu (benda).
Masuknya benda secara sengaja hingga sampai ke lubang yang terbuka (yang menjurus ke perut). Atau sampai ke lubang yang tidak terbuka, seperti benda tersebut sampai ke dalam kepala lewat dari luka.
Orang yang berpuasa hendaknya menahan diri dari masuknya suatu benda sampai ke lubang yang menjurus ke dalam.
Ketiga, Menuangkan obat pada salah satu kedua jalan (qubul dan dubur).
Keempat, Muntah secara sengaja.
Dengan demikian jika muntahnya itu tidak disengaja, maka puasanya tidak batal, sebagaimana keterangan yang telah lewat.
Kelima, Melakukan persetubuhan secara sengaja.
Maka, tidaklah batal puasa seseorang yang jimanya dalam keadaan lupa (kalau dirinya puasa) sebagaimana keterangan yang telah lewat.
Keenam, Keluarnya air mani.
Maksudnya ialah keluarnya air sperma (akibat) dari suatu sentuhan (antar kulit), dengan tanpa melakukan hubungan sebadan. Baik keluarnya mani tadi dengan cara yang haram seperti mengeluarkan air mani dengan tangannya. Atau dengan cara yang tidak haram seperti mengeluarkan air mani dengan menggunakan tangan istrinya atau tangan budak perempuannya.
Dan dengan kata-kata sentuhan antara “kulit” mushannif mengecualikan tentang keluarnya air mani sebab mimpi. maka tidaklah membatalkan puasa.
Ketujuh sampai kesepuluh, yaitu haid, nifas, gila, keluar dari Islam.
Maka sewaktu-waktu salah satu dari beberapa perkara tersebut tiba-tiba terjadi pada (diri orang yang berpuasa) saat melaksanakan puasa, maka hal tersebut bisa membatalkan puasanya.
Kesunnahan Puasa
Kesunnahan dalam berpuasa ada 3 perkara.
Pertama, segera berbuka hal itu jika telah benar-benar nyata terbenamnya matahari. Dengan demikian jika seseorang yang berpuasa itu masih ragu-ragu atas terbenamnya matahari, maka dia tidak boleh cepat-cepat berbuka.
Dan orang yang berpuasa hendaknya berbuka (sebelum makan apa-apa) dengan kurma, dan bila tidak , maka (cukup) dengan air.
Kedua, mengakhirkan makan sahur selama dia belum sampai tiba pada saat yang meragukan (akan habisnya waktu makan sahur).
Kalau demikian, maka dia tidak boleh mengakhirkan sahurnya.
Dan sudah cukup mendapat kesunatan makan sahur, yaitu dengan makan dan minum sedikit (sekedarnya).
Ketiga, Meninggalkan ucapan buruk.
Maka oleh sebab itu, orang yang puasa hendaknya benar-benar bisa menjaga dari ucapan yang bohong, membicarakan kejelekan orang lain.
Dan (bahkan) seandainya ada seseorang yang mengolok-olok kepada orang yang berpuasa. maka hendanya dia berkata sebanyak 2 kali atau 3 kali: “Sungguh aku ini adalah orang yang berpuasa“.
Adakalanya (bisa) dengan lisan sebagaimana dikatakan oleh Imam Nawawi dalam kitab ‘al-Adzkar atau dia ucapkan dalam hatinya sebagaimana perkataan Imam ar-Rafi’i. Pendapat Para Imam (madzhab empat), dan Imam Rafi sendiri mencukupkan ucapan tersebut dalam hati.
Waktu yang haram berpuasa
Dan haram berpuasa dalam 5 hari.
Puasa pada dua Hari Raya, yakni hari raya idul fitri dan idul adha.
Puasa pada hari-hari Tasyriq. yaitu 3 hari setelah hari penyembelihan hewan qurban.
Dan makruh tahrim (berdosa) berpuasa pada hari Syak tanpa ada sebab yang melatar belakangi puasanya.
Dan (selanjutnya) mushannif memberi petunjuk pada sebagian contoh tentang sebab yang melatar belakangi puasanya ini dengan ucapannya: (tidak boleh berpuasa saat hari Syak itu tiba) kecuali puasa syaknya bertepatan pada kebiasaan puasa sunnahnya. Yaitu seperti orang yang sudah biasa berpuasa sehari dan tidak berpuasa sehari. lalu puasa orang tersebut (pada hari berikutnya) bertepatan pada hari Syak.
Dan bagi seseorang boleh pula berpuasa pada hari Syak, (bertepatan) dengan hari puasa qadha dan puasa nadzar.
Hari Syak yaitu hari tanggal 30 bulan Syaban. Apabila tanggal (1 Ramadhan) tidak dapat terlihat pada saat malam hari tanggal 30 tersebut, sementara cuaca keadaan terang, dan banyak orang-orang (selain orang adil) telah membicarakan tentang terlihatnya hilal, akan tetapi tak diketahui ada seorang yang adil satupun yang (ikut) mengetahuinya (menyaksikannya). Atau terlihatnya hilal disaksikan oleh seorang anak kecil, atau seorang budak atau seorang yang fasiq.
Kewajiban bagi yang meninggalkan puasa
Barangsiapa (mukallaf) bersetubuh dengan sengaja pada siang bulan Ramadhan, maka ia berdosa dan wajib membayar puasa yang tertinggal (qadha) dan juga harus membayar kifarat yaitu memerdekakan seorang budak mukmin (beragama Islam).
Dalam sebagian redaksi kitab lain terdapat keterangan budak yang selamat dari beberapa cacat yang membahayakan buat bekerja dan mencari harta.
Jika orang tersebut tidak mendapatkan seorang budak, maka dia harus berpuasa selama 2 bulan secara berturut-turut.
Jika ternyata dia tidak mampu berpuasa selama 2 bulan, maka dia harus memberi makan kepada 60 orang miskin atau orang faqir. Tiap satu orang miskin mendapat satu mud. Maksudnya. satu mud dari bahan makan makanan pokok dalam masalah zakat fitrah.
Kemudian, jika dia tidak mampu melaksanakan nya, maka kewajiban membayar kifarah tetap ada dalam tanggungannya. Lalu ketika sehabis itu (sehabis tidak mampu) ternyata dia mampu melaksanakan sebagian perkara dari sejumlah kewajiban membayar kifarah tersebut, maka dia wajib menunaikannya.
Meninggalkan puasa karena udzur
Barangsiapa meninggal dunia dan punya hutang kewajiban puasa Ramadhan yang pernah dia tinggalkan sebab ada udzur. Seperti orang yang membatalkan puasanya karena sakit. Sementara dia belum sempat untuk mengerjakan puasa qadha, seperti apabila sakitnya itu berlangsung terus hingga wafatnya. maka baginya tidak berdosa, dan tidak harus pula membayar fidyah.
Dan jika tertinggalnya puasa tersebut sebab udzur dan dia wafat sebelum sempat melaksanakan puasa qadha’ (atas ketertinggalannya), maka walinya harus mengeluarkan harta tinggalannya mayat untuk memberi makan sebagai ganti puasa mayat pada tiap hari, dimana puasa tidak dilaksanakan sebanyak satu mud makanan.
Dan apa yang telah diterangkan oleh mushannif tersebut adalah pendapat qaul jadid.
Sedang menurut pendapat qaul qadim, tidak ada keharusan memberi makan. Tetapi bagi walinya boleh berpuasa sebagai ganti dari puasanya mayat tersebut.
Bahkan sunnah bagi seorang wali berpuasa sebagai ganti puasanya mayat tersebut sebagaimana keterangan dalam kitab Syarah Muhadzdzab. (bahkan) Imam Nawawi sendiri telah membenarkannya dalam kitab Raudlah atas suatu ketetapan (kepastian) mengikuti dengan qaul qadim.
Orang tua (berusia 40 tahun ke atas) dan orang yang sudah ringkih sekali (tua sekali) dan orang yang sakit yang tidak ada harapan sembuh, ketika masing-masing dari mereka telah lemah tidak mampu berpuasa, maka mereka boleh membatalkan puasanya dan berkewajiban memberi makan satu mud (kepada faqir miskin) dari setiap harinya.
Dan tidak boleh, terburu-buru mengeluarkan 1 mud, sebelum masuk nya bulan Ramadhan.
Boleh melakukannya sehabis (terbitnya) fajar dari setiap hari (saat bulan Ramadhan).
Ibu hamil dan menyusui tidak puasa
Ibu hamil dan menyusui, jika mereka mengkhawatirkan atas dirinya akan adanya suatu bahaya sebab berpuasa, sebagaimana bahayanya orang yang sedang sakit. Maka mereka boleh tidak puasa, dan mereka wajib melaksanakan qadha puasanya.
Jika mereka mengkhawatirkan kepada anak mereka khawatir akan “terjadi keguguran bayi” bagi orang yang hamil, dan khawatir akan sedikitnya (berkurangnya) air susu bagi seorang ibu yang sedang menyusul anak, maka mereka boleh tidak puasa. Bagi mereka wajib melaksanakan qadha puasanya sebab tidak puasa, dan juga sekaligus wajib menunaikan kifarah.
Dan “kifarah”, ialah hendaklah orang tersebut mengeluarkan dari setiap hari sebanyak satu mud.
Tentang 1 mud ini -sebagaimana telah lewat keterangannya- ialah 1 1/3 kati menurut ukuran negeri baghdad, irak.
Orang yang sedang sakit dan orang yang sedang bepergian jauh jika mereka telah terasa berat berpuasa, maka mereka boleh tidak puasa dan mereka wajib mengqadha’ puasanya.
Bagi orang yang sedang sakit, jika sakitnya itu berlangsung terus-menerus (sepanjang malam dan siang hari) maka dia boleh meninggalkan niat (tidak niat) puasa semenjak dari malam hari.
Sedang, jika sakitnya tidak berlangsung terus-menerus sepanjang saat yaitu sebagaimana apabila dia sakit panas yang datang pada suatu saat. tidak datang pada saat yang lain, sementara pada saat hendak dalam melaksanakan puasa, dia dalam keadaan sedang sakit panas. maka bagi orang tersebut boleh meninggalkan niat puasa.
Dan apabila tidak demikian persoalannya maka bagi orang tersebut tetap wajib niat puasa pada saat malamnya.
Jika sakit panas itu kembali lagi, sementara dia butuh untuk berbuka (saat siang hari), maka baginya boleh berbuka.
Dan mushannif tidak ‘membicarakan tentang puasa sunnah. Puasa sunnah itu terdapat dalam kitab-kitab yang panjang lebar pembicaraannya. Puasa sunnah tersebut adalah puasa hari ‘Arafah, hari ‘Asyura (tanggal 10 Muharram), hari Tasua (tanggal 9 Muharram), hari-hari terang bulan dan 6 hari dari bulan Syawal.