Dalam kitab fathul qorib, mushannif menjelaskan tentang nikah dan hal yang berkaitan dengan nikah. Selain itu, dalam kitab ini juga menjelaskan tentang hukum melihat lawan jenis. Maka dari itu, berikut adalah terjemah fathul qorib kitab hukum nikah.
Terjemah Fathul Qorib Kitab Hukum Nikah
Dan dalam sebagian keterangan menggunakan lafadz Wamaa yattashily bihi (segala sesuatu yang berhubungan dengannya), berupa hukum-hukum dan urusan pengadilan. Kalimat ini “al ahkaam wal qadlaya” tidak ada dalam sebagian redaksi matan.
Pengertian “Nikah” menurut bahasa adalah “kumpul, Wati/jimak dan akad. Sedang pengertian nikah menurut syara’ adalah suatu akad yang mengandung/memuat beberapa rukun nikah dan syarat.
Hukum nikah
Nikah sunah bagi orang yang membutuhkannya, sebab keinginan nafsunya yang kuat untuk hubungan badan serta sudah memiliki biaya pernikahan seperti maskawin dan nafkah. Apabila tidak memiliki biaya pernikahan, maka baginya tidak sunnah melakukan pernikahan.
Bolehkan bagi orang merdeka, mengumpulkan (memiliki) empat (istri) yang merdeka, kecuali bila haknya memang tertentu satu istri, seperti pernikahan orang bodoh/tolol dan semacamnya, dari orang-orang yang bergantung pada kebutuhan.
Bagi seorang budak, meskipun budak mudabbar, muba’adh, mukatab atau orang yang kemerdekaanya digantungkan dengan suatu sifat, boleh mengumpulkan/memiliki dua istri saja.
Orang yang merdeka tidak boleh menikahi amat orang lain, kecuali dengan dua syarat, yaitu : Pertama, tidak memiliki maskawin untuk wanita merdeka, atau tidak adanya wanita yang merdeka, atau tidak ada perempuan merdeka yang rela ia nikahi. Kedua, khawatir melakukan zina, yakni zina selama tidak ada perempuan merdeka.
Dan mushannif meninggalkan/tidak menyebutkan dua syarat lain, yaitu :
Pertama, Laki-laki merdeka tersebut tidak memiliki istri merdeka yang beragama islam atau ahli kitab yang layak dijadikan untuk bersenang-senang.
Kedua, Amat harus Islam. Maka tidak halal bagi orang Islam merdeka menikahi perempuan amat kitabi. Bila laki-laki merdeka menikahi perempuan amat dengan memenuhi syarat-syarat tersebut, tiba-tiba dia mampu menikahi perempuan merdeka, maka pernikahan dengan perempuan amat tidak batal.
Hukum melihat lawan jenis
Seorang laki-laki melihat seorang perempuan ada tujuh macam, yaitu:
Melihatnya seorang laki-laki, sekalipun ia sudah lanjut usia dan pikun serta tidak mampu berhubungan biologis, pada perempuan lain (bukan mahrom) tanpa ada hajat itu hukumnnya tidak boleh (haram).
Tapi jika karena ada unsur hajat seperti melakukan kesaksian atas dari perempuan, maka hukumnya boleh.
Melihatnya seorang laki-laki kepada istri dan amatnya hukum nya boleh. Boleh juga melihat masing-masing dari keduanya hingga pada bagian anggota selain farji mereka.
Adapun melihat farji, hukumnya haram. Namun pendapat ini lemah. Sedangkan menurut qaul ashah, boleh melihat farji, hanya saja makruh.
Melihatnya seorang laki-laki pada beberapa perempuan mahramnya, sebab hubungan nasab, sesusuan, mertua, atau melihat perempuan amatnya yang telah berkeluarga,
maka boleh melihat pada bagian tubuh mereka selain anggota yang terletak antara pusar dan lutut.
Adapun melihat anggota yang ada antara keduanya (pusar dan lutut), maka hukumnya haram.
Melihat ada hajat untuk menikahinya. Maka boleh bagi seseorang ketika ada niatan kuat hendak menikahi perempuan tersebut yaitu melihat bagian muka dan dua telapak tangannya baik bagian luar atau dalam, meskipun perempuan itu tidak memberi izin kepadanya dalam melihat wajah dan kedua telapak tangan.
Menurut tarjihnya imam nawawi, laki-laki boleh melihat dari diri amat ketika berniat untuk melamarnya, yaitu anggota tubuh yang boleh di lihat dari seorang perempuan merdeka (wajah dan kedua telapak tangan).
Melihat untuk mengobati. Dokter laki-laki boleh melihat perempuan lain (bukan rmahrom) pada tempat-tempat yang diperlukan saja dalam pengobatan hingga mengobati farji, (melihat dalam pengobatan ini) dengan syarat hadirnya pihak mahrom, suami atau tuan/majikan, dan memang tidak ada perempuan yang mampu mengobati pasien tersebut.
Melihat untuk melakukan persaksian atas diri si perempuan itu.
Maka boleh pihak saksi melihat farjinya si perempuan saat melakukan persaksian atas perzinahannya atau melahirkannya si perempuan itu. Bila bersengaja melihat tidak untuk melakukan persaksian, maka ia menjadi fasik dan tertolaklah persaksiannya.
Atau melihat perempuan karena urusan segala bentuk transaksi seperti jual beli dan lainnya, maka yang boleh hanya melihat wajahnya saja, hal ini (melihat wajah saja) untuk persaksian dan transaksi.
Melihatnya seorang laki-laki pada perempuan amat ketika hendak membelinya. Maka boleh melihat pada bagian-bagian yang diperlukan. Sehingga boleh melihat beberapa anggota amat, dan rambutnya, tidak boleh melihat bagian auratnya.
KETERANGAN: “yang wajib hanya melihat wajah, baik untuk persaksian atau transaksi”. Pendapat ini ditenitang, sebab dalam persaksian boleh melihat anggota yang dibutuhkan, bisa wajah dan lainnya seperti farji. (al-Bajuri 2/100).
Dalil dan Rukun Nikah
فانكحوا ما طاب لكم من النساء مثنى وثلاث وربع (النساء: 3)
Artinya: Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. (QS. Annisa’: 3).
يا معشر الشباب! من استطاع منكم الباءة فليتزوج فإنه أغض للبصر وأحصن للفرج ومن لم يستطع فعليه بالصوم فإنه له وجاء (متفق عليه)
Artinya: Wahai para generasi muda! Barang siapa diantara kalian telah mampu menikah, maka menikahlah karena dapat lebih menundukkan penglihatan dan lebih menjaga farji. Dan barang siapa tidak mampu (menikah), maka hendaknya ia berpuasa karena dapat menjadi penekan nafsu syahwat baginya. (HR. Bukhari Muslim).
Rukun nikah
1. Zauj; calon suami.
1. Zaujah; calon istri.
2. Wali; orang tua atau keluarga calon istri.
3. Dua orang saksi.
1. Shighat; meliputi îjab (dari pihak wali) dan qabûl (dari pihak zauj).