Dalam artikel ini kami akan mengulas tentang terjemah fathul qorib fasal shuluh atau perdamaian. Selain itu terdapat juga pembagian atau macam-macam shuluh beserta hukumnya. Pada akhir artikel akan ada hukum memanjang nya atap rumah ke jalan umum. Baik lah berikut adalah fasal shuluh atau akad perdamaian.
Pengertian shuluh
Menjelaskan tetang Shuluh (perdamaian) Kata “Shuluh” menurut bahasa artinya “memutus perselisihan atau perdamaian”. Sedangkan menurut syara’ ialah suatu bentuk akad yang dapat menyelesaikan perselisihan.
Akad Shuluh/damai hukum nya sah beserta adanya iqrar (pengakuan), “yakni pengakuan orang yang didakwa”, dalam urusan harta suatu perkara yang jelas.
Demikian pula sah, suatu akad damai terhadap sesuatu yang dapat mendatangkan harta. Seperti orang yang punya hak qisash atas diri seseorang. Kemudian mereka berdamai dengan minta ganti harta melalui perkataan “perdamaian”. Maka shuluh (perdamaian) ini hukumnya sah. Atau dengan perkataan “membeli” maka hukumnya tidak sah.
Pembagian Shuluh
Akad shuluh terbagi menjadi dua macam, yaitu Shuluh Ibra dan Shuluh Mu’awadhah.
Shuluh Ibra’
Shuluh ibra yaitu suatu bentuk perdamaian seorang yang mendakwa telah bersedia mengurangi dari haknya (berupa menghutangkan), atas sebagiannya.
Ketika orang tersebut melakukan perdamaian uang sebanyak Rp. 1.000, yang berada dalam tanggungan seseorang, dengan mengurangi Rp. 500 dari 1000. Seakan-akan dia berkata kepada orang (yang mempunyai hutang) berilah aku 500,- saja dan aku membebaskan kepadamu 500,-
Tidak sah menggantungkan akad Shuluh dengan maksud shuluh Ibra’ atas sebuah syarat. Seperti ucapannya “Jika telah datang awal bulan, maka aku akan berdamai denganmu”.
Shuluh Mu’awadlah
Shuluh muawadhah adalah berpindahnya seseorang dari haknya kepada hak yang lain, seperti pendakwaan seseorang terhadap sebuah rumah atau sebagian nya atas orang yang didakwa. Dan terdakwa telah iqrar (menyatakan) terhadap hal tersebut. Kemudian pendakwa berdamai dengan terdakwa tentang masalah rumah itu, diganti dengan benda yang kelihatan, seperti pakaian. Maka shuluh ini hukumnya sah.
Dan terhadap Shuluh macam ini (shuluh Mu’awadlah) berlaku hukum jual beli, maka seolah-olah dalam contoh tersebut si pendakwa telah menjual kepada terdakwa sebuah rumah yang dibeli dengan pakaian.
Ketika dalam keadaan yang demikian itu, maka bagi terdakwa berlaku hukum jual beli dalam berbagai perdamaian. Seperti hak mengembalikan barang sebab terdapat aib (cacat) dan tercegah mentasarrufkan sebelum barang di terima.
Baca juga: rukun jual beli dalam islam
Jika pendakwa mendamai terdakwa atas sebagian benda yang didakwakan, maka namanya “Hibbah” (pemberian) dari pihak pendakwa untuk sebagian benda yang ditinggalkan.
Dalam status Hibbah (pemberian) ini berlaku hukum-hukum Hibbah sebagaimana keterangan dalam bab Hibbah. Dan perdamaian semacam ini nama nya dengan Shuluh “Khathithah” (mengurangi).
Tidak sah Shuluh Khathithah dengan menggunakan lafazh “jual beli” untuk sebagian benda yang ditinggalkan. Seperti bila pendakwa menjual benda yang didakwakan kepada terdakwa dibeli dengan sebagian benda itu.
Hukum mengeluarkan atap rumah
Boleh hukumnya bagi orang Islam mengeluarkan rausyan (jendela yang ada pada atap rumah). Lafazh “yusyri’a” terbaca dhammahnya huruf awalnya dan kasrah huruf sebelum akhir. Dan ini (rausyan) di namakan juga “sayap rumah”.
Maksud dari “mengeluarkan jendela atau sayap rumah” yaitu mengeluarkan kayu dari atas dinding atau pagar rumah, menuju di atas jalan tembus.
Jalan tembus tersebut nama nya “jalan umum“, sekiranya orang yang berjalan (lewat) tidak merasakan bahaya sebab adanya Rausyan (jendela atau atap dinding samping yang menonjol ke jalan umum). Keberadaan Rausyan tersebut harus tinggi, sekira orang lewat dengan postur tubuh tingga bisa melewati dengan posisi tegak.
Imam Mawardi menta’birkan, bahwa sekiranya bisa lewat orang memikul sesuatu di atas kepalanya.
Apabila jalan tembus (jalan umum) itu biasa menjadi tempat lewatnya kuda atau unta, maka hendaknya meninggikan rausan tersebut. Sekiranya atap unta beserta atap nya dapat melewati nya.
Adapun orang kafir dzimmi, maka dia tidak boleh mengeluarkan Rausyan dan atap meskipun baginya boleh melewati jalan tembus.
Tidak boleh mengeluarkan Rausyan pada lorong yang buntu (yang tanahnya) milik bersama, kecuali mendapat izin dari mereka yang mempunyai jalan lorong tersebut.
Adapun yang maksud dari “Orang-orang yang mempunyai hak bersama” yaitu orang yang pintu rumahnya tembus ke jalan lorong (gang).
Dan yang maksud didirikan dengan mereka bukan orang yang pagar rumahnya bertemu dengan jalan lorong (gang) tersebut, tanpa tembusnya pintu jalan lorong itu.
Masing-masing dari mereka mempunyai hak menggunakan mulai dari pintu rumahnya sampai pada awal jalan lorong (gang) itu (pintu gerbang). Tidak berhak atas lahan yang mendampingi akhir jalan lorong.
Boleh memajukan posisi (kearah gerbang) pada jalan lorong yang milik bersama. Dan tidak boleh membelakangkan pintu (ke arah ujung jala lorong), kecuali memperoleh izin orang-orang yang sama mempunyai hak jalan.
Maka sekira mereka melarang pembelakangan pintu itu, maka hukumnya tidak boleh membelakangkan pintu itu. Dan kemudian jika mereka yang punya hak jalan lorong melakukan damai dengan gantui rugi harta, maka sah akad damainya.
Demikian Terjemah Fathul Qorib Fasal Shuluh. Semoga bermanfaat