Allah s.w.t memberikan kita kemudahan pada saat melaksanakan ibadah. Salah satu rukhsoh dari Allah adalah menjamak dan mengqosor sholat dengan syarat tertentu. Berikut adalah terjemah fathul qorib fasal shalat jamak dan qosor.
Terjemah Fathul Qorib Fasal Shalat Jamak dan Qosor
FASAL : Menjelaskan tentang meng qosor (memperpendek jumlah rakaat) dan menjamak (mengumpulkan waktunya) shalat. Diperbolehkan bagi seorang musafir, yakni orang yang sedang dalam keadaan bepergian, yaitu memperpendek shalat yang jumlah rakaatnya empat-empat, bukan yang kurang dari empat, seperti shalat yang jumlah rakaatnya dua atau tiga.
KETERANGAN :
Seseorang telah menjadi musafir terhitung setelah dia melewati : Tugu (pembatas Desa) daerah tempat tinggalnya. Apabila perjalanan yang akan di tempuhnya itu tidak searah dengan tugu itu berada, atau berada pada tempat tinggalnya tidak terdapat tugu pembatas, maka statusnya sebagai musafir terhitung setelah melewati parit.
Jika tidak ada parit, maka setelah melewati jembatan. Jika jembatan juga tidak ada, maka terhitung setelah melintasi kawasan pemukiman daerah asalnya meskipun kawasan tersebut terdapat bidang-bidang tanah yang kosong.
Demikian pula seandainya perjalanan yang akan ditempuh itu searah dengan keberadaan tugu daerah-daerah sekitar, maka status kemusafirannya juga baru terhitung setelah melalui batas tersebut.
Syarat Qosor Sholat
Boleh meng-qosor shalat yang jumlah rakaatnya empat dengan memenuhi 5 syarat :
Bepergian seseorang itu bukan dalam rangka maksiyat. (Jadi) bepergian seperti itu mencakup bepergian yang wajib, seperti (pergi) untuk membayar hutang. dan yang sunnah, yaitu seperti (pergi) untuk silaturahmi, dan juga kepergiannya yang mubah, seperti (pergi) untuk berdagang.
Adapun kepergian (seseorang) untuk bermaksiat, seperti pergi untuk mengadakan perampokan di jalan, maka dalam hal ini tidak ada suatu keringanan untuk shalat qosor begitu juga menjamak.
Jarak tempuh bepergiannya itu ada 16 farsakh secara pasti (tidak boleh kurang sedikit saja) menurut pendapat yang lebih sahih. Dan tidak mengihitung jarak masa kembalinya orang itu dari jarak 16 farsah tersebut. (Jadi, jarak 16 farsah itu hanya jarak keberangkatannya saja, bukan pulang-pergi).
Jarak 1 farsakh itu sama dengan 3 mil, dengan demikian jumlah keseluruhan beberapa farsah yang tersebut di atas, adalah 48 mil, sedang 1 mil adalah sama dengan 4000 langkah, sedang satu langkah adalah sama dengan 3 tapak kaki. Maksud dengan ukuran mil-mil yang tersebut tadi, adalah mil al-Hasyimiyah.
Ukuran Jarak dalam Fiqih
Satu farsakh adalah 3 mil, dengan demikian jumlah keseluruahan farsakh adalah 48 mil.
Satu mil sesuai ukuran Ibnu Abdil Bar mencapai 350 dzira’/hasta. Dan satu dzira’ sama dengan 48 mil Sesuai hitungan ini berarti jarak tempuh perjalanan boleh melakukan qosor itu sejauh 80.640 meter.
K.H Ali bin Ma’shum Jombang dalam kitabnya Fathul Qodir (3-5) satu dzira’ seukuran 48 cm itu mengacu pada ukuran mayoritas manusia.
Sementara sesuai ukuran yang pernah diterbitkan pada masa dinasti Abbasyiah kekholifahan Al Makmun, satu dzira’ (hasyimi) sama dengan 41,666625 cm.
Menurut Imam Nawawi, satu dzira yang sedang itu ukuran 44,70000 cm.
Menurut Imam Rafi’i, satu dzira’ yang sedang adalah 44,820000 cm.
Dalam kaitan ini, untuk memastikan kaabsahan qosor maupun jamak seorang musafir, jarak sejauh itu tidak harus benar-benar telah ditempuh.
Dalam arti seandainya sesudah melakukan qosor atau jamak dan sebelum mencapai perjalanan sejauh itu, musafir kemudian mengurungkan niatnya dan kembali pulang, maka ia tidak perlu mengulang shalat qosor atau jamak yang telah ia kerjakan.
Bani Hasyim pada bab ini bukanlah komunitas dari keturunan Syaid Hasyim kakek Rasulallah SAW, tetapi kalangan Abbasiyyin dari Bani Hasyim. Karena merekalah yang menetapkan semasa pemerintahannya.
Adapun shalat yang tertinggal saat muqim, maka tidak boleh meng-qadha nya saat bepergian dengan cara qosor.
Sedang shalat yang tertinggal pada saat bepergian, maka boleh meng-qadha nya secara qosor sewaktu dalam bepergian -tidak boleh sewaktu sudah kembali ke rumah-.
Orang yang bepergian tersebut, niat meng-qosor shalat bersamaan takbiratul ihramnya shalat. (Baca juga: Niat sholat qosor)
Bagi orang yang meng-qosor shalat dalam (mengerjakan) sebagian dari shalatnya, tidak boleh bermakmum kepada seorang imam yang muqim: yakni makmum kepada orang yang mengerjakan shalatnya secara sempurna.
(menyebutkan kata “mengerjakan shalat secara sempurna”) bertujuan, agar supaya mencakup pula seorang musafir yang mengerjakan shalatnya secara sempurna (tidak qosor).
Syarat Jamak Shalat
Dan boleh bagi seorang musafir pada (saat) bepergian yang jauh lagi mubah, yaitu mengumpulkan antara dua shalat, yakni dhuhur
dan Ashar dengan jamak taqdim dan dengan cara jamak takhir, itulah maksud ucapan mushanif -kata yang berbunyi : Pada waktu yang mana saja ia kehendaki”.
Bboleh pula ia mengumpulkan antara dua shalat, yakni Maghrib dan Isya dengan cara jamak taqdim dan (boleh dengan cara) jamak takhir. Itu maksud ucapan mushanif (yang berbunyi) : Pada dalam waktu yang ia sukai.
Syarat Jamak Taqdim
Syarat-syarat jamak taqdim itu ada 3 (tiga) :
Pertama, Mushalli mulai dengan melakukan shalat Dzuhur sebelum melakukan shalat Ashar, dan (demikian juga) melaksanakanshalat Maghrib sebelum melakukan shalat ‘Isya.
Maka seandainya ia melakukan dengan cara membalik, seperti ia memulai shalat Ashar sebelum melakukan shalat Dhuhur, maka (praktek demikian) itu tidak sah
Dan ia (harus) mengulangi shalat Ashar (dengan segera) sehabis melakukan shalat Dzuhur, (demikian itu) jika ia memang masih bermaksud hendak menjamak shalatnya.
Kedua, Niat jamak pada permulaan mengerjakan shalat yang pertama. Dengan cara, ia membersamakan niat jamak itu dengan takbiratul ihramnya shalat. (baca juga: niat sholat jamak taqdim)
Maka (dengan demikian), tidak cukup (tidak sah), mendahulukan niat dari takbiratul ihram, dan tidak (pula) cukup, mengakhirkan niat dari salam dalam shalat yang pertama.
Dan (tetapi) boleh melakukan niat pada tengah-tengah (sedang melakukan) shalat yang pertama, (demikian) menurut pendapat yang lebih jelas.
Ketiga, Muwalah (susul-menyusul dengan segera) antara mengerjakan shalat yang pertama dengan shalat yang kedua. Dengan gambaran senggang waktu yang memisah antara shalat yang pertama dan yang kedua itu tidak begitu lama.
Maka, apabila menurut penilaian ‘Urf (kebanyakan orang) senggang waktu pemisah antara kedua shalat tersebut cukup lama, walaupun (hal itu terjadi) karena ada udzur (suatu halangan), seperti tertidur, hukumnya wajib mengakhirkan shalat yang kedua hingga sampai tiba waktunya melakukan shalat yang kedua tersebut.
Dan tidaklah mengapa -dalam hal muwalah- antara mengerjakan shalat yang pertama dengan shalat yang kedua, terdapat senggang waktu pemisah yang hanya sebentar menurut penilaian ‘Urf.
Syarat Jamak Takhir
Adapun (syaratnya) jamak takhir, maka dalam melakukan jamak, ia wajib niat menjamak shalat, dan keberadaan niat ini adalah dalam waktunya shalat yang pertama. Baca juga: Niat jamak takhir
Dan boleh mengakhirkan niat hingga sampai tiba sisa waktu shalat yang pertama. Yaitu suatu masa (sedikit kesempatan) sekira nya cukup mengerjakan shalat yang pertama. Maka shalat yang pertama tersebut masih bisa dianggap sebagai shalat “Ada”.
Dalam jamak takhir, tidak wajib adanya tertib dan juga tidak ada keharusan muwalah dan bukan pula niat jamak. (demikian ini) menurut pendapat yang shahih dalam tiga hal tersebut.
Syarat Jamak Taqdim Sebab Hujan
Dan boleh bagi orang yang muqim, sewaktu dalam keadaan hujan menjamak shalat antara dua shalat. Yakni antara shalat Dzuhur dan Ashar, dan (juga) antara shalat Maghrib dan Isya.
Tidak boleh mengumpulkan shalat yang pertama ke dalam waktu shalat yang kedua. tetapi harus dalam waktu shalat yang pertama dari kedua shalat yang akan dijamak tersebut. (bolehnya demikian itu) jika air hujan (keberadaannya) bisa membasahi pada pakaian dan bagian bawah sandal (alas kaki). Dan harus memenuhi beberapa syarat yang sudah lewat terdahulu (yang berkenaan) dalam masalah jamak taqdim.
Syarat berikutnya adalah adanya hujan dalam (saat-saat) permulaan dua shalat tersebut. Dan tidak cukup terdapatnya hujan pada tengah-tengah (saat menjalankan) shalat yang pertama dari dua shalat tersebut.
Syarat selanjutnya adalah adanya hujan (terus berlangsung) sewaktu hendak mengucap salam dari shalat yang pertama. Baik sesudah itu, hujan terus berlangsung atau tidak.
Keringanan menjamak shalat sebab hujan itu khusus untuk orang yang (sedang) dalam keadaan berjamakah di Masjid, atau tempat lain. Yaitu tempat-tempat jama’ah yang jauh menurut penilaian ‘urf (kebanyakan orang) yang mana orang yang hendak pergi ke masjid atau lainnya. Yaitu tempat-tempat jama’ah akan menjadi menderita (jatuh sakit) karena kehujanan di jalan (perjalanannya menuju ke tempat berjamakah).
KETERANGAN :
Bolehnya menjamak selain karena bepergian, hujan dan sakit. Menurut Imam Ibnu Sirin, boleh ketika ada hajat/kesibukaan yang sulit ditinggalkan dengan catatan tidak dijadikan kebiasaan, bahkan menurut Imam Ibnu Mundzir, boleh menjamak tanpa sebab asalkan tidak menjadikan kebiasaan.”
Demikian Terjemah Fathul Qorib Fasal Shalat Jamak dan Qosor. Semoga bermanfaat.