Terjemah Fathul Qorib Fasal Shalat Berjamaah

Diposting pada

Shalat berjamaah lebih utama daripada shalat sendiri karena memiliki pahala 17 derajat. Shalat berjamaah juga mendapat jaminan diterimanya shalat tersebut. Dan masih banyak lagi keutamaan shalat berjamaah. Dalam kitab fathul qorib, Syech Abu Syuja menjelaskan tentang hukum shalat berjamaah, syarat shalat berjamaah serta fadhilahnya. Berikut adalah terjemah fathul qorib fasal shalat berjamaah.

Terjemah Fathul Qorib Fasal Shalat Berjamaah

Shalat berjamaah bagi kaum laki-laki dalam mengerjakan shalat shalat fardhu selain shalat Jum’at, hukumnya adalah sunnah mu’akkad (sangat ditekankan). Demikian ini menurut pendapat mushannif dan pendapat Imam Rafi’i.

Adapun pendapat yang lebih shahih, menurut Imam an-Nawawi, bahwa shalat berjamaah tersebut hukumnya fardlu kifayah (kewajiban yang bersifat kolektif).

KETERANGAN:

Bagi yang mengatakan bahwa shalat berjamaah itu fardhu kifayah, maka andaikan satu kampung atau kota tidak ada yang melakukan berjama’ah atau melakukan tapi dalam rumah pribadi, maka tidak gugur kefardhuan (berjamaah), alias masyarakatnya menanggung dosa.

Batas cukup dari fardhu kifayah itu jika melaksanakan berjamaah pada suatu tempat semisal muhsalla atau masjid sekira tampak bentuk syiar Islam.

Seorang makmum itu mendapat fadhilah berjama’ah bersama imam, pada selain shalat Jum’at, selagi imam belum mengucap salam yang pertama, sekalipun makmum itu belum sempat duduk bersama imamnya.

Adapun jama’ah pada shalat Jum’at, hukumnya fardhu ‘ain (wajib bagi setiap individu).

Dan tidak mendapat berjama’ah Jumat, (makmum yang hanya mendapatkan) paling sedikit dari satu rakaat.

Bagi seorang makmum wajib niat menjadi makmum atau niat mengikuti imam.

Tidak wajib hukumnya menjelaskan (nama) imamnya, tetapi cukup niat mengikuti imam yang ada di situ (tempat mamum berjamaah), – sekalipun mamum tadi tidak – mengenal (mengetahui) kepada imamnya.

Jadi, jika makmum menjelaskan (nama) imamnya (misalnya Zaid) dan ternyata tidak tepat (misalnya yang jadi imam Umar), maka batal shalatnya.

(Demikian itu) terkecuali jika pada (saat) menjelaskan (nama) imam disertai (pula) berisyarah, seperti ucapan seorang makmum : “saya niat mengikuti (makmum) kepada imam yang bernama Zaid ini”, lalu ternyata imam itu bernama Umar, maka sah shalatnya.

Maka tidak wajib niat imamah bagi imam, di dalam masalah sahnya berjamaah dengan imam pada selain shalat Jum’at. Tetapi niat menjadi imam itu hukumnya sunnat bagi imam. kemudian, apabila imam tidak niat menjadi imam, maka shalatnya imam sama saja seperti shalat sendirian.

KETERANGAN :

Sunnah bagi imam niat imamah saat takbiratul ihram agar mendapatkan fadhilah jama’ah. Apabila tidak niat menjadi imam, maka tidak dapat fadhilah jama’ah karena sah nya amal itu tergantung dengan niat.

Dan apabila niat imamahnya di tengah-tengah shalat maka fadhilah jama’ah di peroleh terhitung mulai niat menjadi imam, tidak dari awal shalat.

Syarat Sah Berjamaah

Dan boleh orang yang merdeka bermakmum pada seorang hamba sahaya (budak), dan juga orang yang sudah baligh, bermakmum pada seorang anak yang belum (mendekati) baligh.

Adapun anak kecil yang belum baligh juga belum pintar (nalar), maka tidak shah berma’mum kepadanya. Dan tidak sah bermakmum bagi seorang laki-laki kepada (imam) perempuan, juga bermakmum pada khunsta yang tak jelas laki-laki dan perempuannya.

Juga tidak sah bermakmumnya seorang khuntsa muyskil, kepada seorang (imam) perempuan, dan juga kepada sesama khuntsa muyskil.

Tidak sah (pula) orang yang fasih bacaannya bermakmum pada yang buta huruf -yaitu orang yang merusak satu huruf, atau satu tasydid dari bacaan Fatihah.

Syarat menjadi makmum

Kemudian mushannif memberi petunjuk tentang syarat-syarat bermakmum dengan ucapannya (yang berbunyi):

Dmana saja berada, seorang makmum yang shalat dalam Masjid bersama-sama dengan imam yang juga dalam Masjid tersebut, yang mana makmum bisa mengetahui gerakan imam. Yaitu dengan melihat langsung, atau dengan melihat kepada sebagian barisan. Maka, praktek jamaah demikian sudah cukup bagi mamum tersebut.

Yakni, cara yang demikian itu sudah mencukupi bagi makmum dalam masalah sah nya ber makmum pada imam: selama ia tidak mendahului (posisi) imam.

Lalu, apabila makmum mendahului (posisi) imamnya dengan tumitnya di dalam arah qiblatnya imam, maka shalatnya tidak sah.

Dan (namun demikian) tidaklah mengapa menyamainya seorang makmum pada imamnya (dalam posisi).

Sunnah bagi makmum berada di belakang imamnya sedikit dengan posisi mundur.

Ini bukan berarti menjadikan makmum tersebut menyendiri dari shaf (barisan) imam, sehingga ia tidak dapat memperoleh akan fadhilah shalat berjama’ah.

Jika ada seorang imam shalat dalam Masjid, sedang makmumnya berada di luar Masjid, (tetapi) keadaan makmum (jaraknya) berdekatan dengan imamnya, misalnya jarak antara imam dan Makmum itu kira-kira tidak sampai melebihi 300 dzira’ (hasta, lengan),

Dan makmum bisa mengetahui gerakan imam. Yakni antara imam dan makmum tidak terdapat penghalang (tabir), maka hukumnya boleh (sah) bermakmum pada shalatnya imam.

Dan jarak tersebut itu terhitung dari batas akhir Masjid. Jika imam dan makmum itu berada di luar Masjid, (baik) berada di tanah lapang, atau berada dalam sebuah bangunan, maka syarat jarak antara imam dan makmum tersebut, hendaknya tidak melebihi 300 dzira. Dan juga antara mereka tidak terdapat tabir (yang menghalangi sampainya makmum pada imamnya).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *