Mushannif akan menjelaskan tentang pengertian qadzaf atau suami menuduh zina istrinya sendiri dan sumpah li’an. Maka dari itu berikut adalah terjemah fathul qorib fasal qadzaf dan li’an.
Terjemah Fathul Qorib Fasal Qadzaf dan Li’an
Pengertian Li’an menurut bahasa adalah mashdar dari kata La’ni, bermakna “jauh”. Sedangkan pengertian sumpah li’an menurut istilah syara’ yaitu kata khusus yang dan dijadikan bukti atau alasan bagi orang yang menuduh orang lain mengotori alas tidurnya, dan orang yang terpaksa merasa ternodai atau mendapatkan aib.
Bila suami menuduh istrinya berbuat zina, maka ia terkena hukuman menuduh zina.
Dan bahwa hukuman menuduh zina itu dijilid 80 kali, kecuali bila suami yang menuduh dapat mendatangkan saksi atas perbuatan zina istri. Atau dia berani bersumpah li’an kepada istrinya.
Menurut sebagian keterangan menyebutkan, “atau suami bersumpah li’an lantaran perintah hakim atau orang yang berada dalam hukum pemerintahan hakim, seperti orang yang dijadikan hakim”.
Kemudian suami mengucapkan atau bersaksi didepan banyak orang (minimal 4 orang)
Diatas mimbar suami mengucapkan: “Saya bersaksi, demi Allah, sesungguhnya saya termasuk orang yang benar dalam hal yang saya tuduhkan terhadap istri saya, Fulanah (istri yang tidak hadir di tempat) dari perbuatan zina“.
Jika istri hadir, maka hendaknya memberi isyarat kepadanya dengan perkataan: “Istri saya ini” dan bila di situ terdapat anak yang tidak di akuinya, maka hendaknya ia menyebutkan dalam beberapa kalimat li’an, dengan mengatakan: “Sesungguhnya anak ini adalah anak hasil zina, bukan dari saya“. Kalimat-kalimat tersebut diucapkan oleh yang bersumpah lian sampai 4 kali.
Dan yang bersumpah li’an berkata untuk kelima kalinya, sesudah hakim atau orang yang dijadikan hakim memberi nasihat berbentuk menakut-nakuti akan siksa Allah di akhirat, dan sungguh siksa tersebut lebih berat daripada siksa di dunia, (yaitu dengan ucapan:) “Dan saya siap tanggung laknat Allah, jika aku termasuk orang yang bohong dalam hal menuduh istriku ini dari perbuatan zina.
Perkataan Mushannif: “Di atas mimbar, di hadapan orang banyak” adalah tidak wajib dalam hal sumpah li’an, tetapi sunah.
Ada lima hukum yang berhubungan sebab sumpah li’annya suami, meskipun istri tidak bersumpah li’an, yaitu:
1. Gugurnya hukuman pidana suami kepada istri yang di li’an darinya, jika memang perempuan yang di li’an adalah wanita yang terjaga/terhormat. Dan gugur hukuman ta’zir darinya, jika perempuan tersebut bukan perempuan yang terjaga/terhormat.
2. Wajib menghukum pidana zina istri, baik ia perempuan Islam atau kafir, jika ia tidak membalas bersumpah li’an.
3. Rusaknya hubungan perkawinan.
Selain Mushannif mengungkapkan dengan istilah “cerai selama-lamanya”, yaitu telah hasil perceraian secara lahir-batin, meskipun orang yang bersumpah li’an mendustakan dirinya sendiri.
4. Peniadaan (nasab) anak tersebut dari orang yang sumpah lian.
Adapun perempuan yang di li’an, maka nasab anak tidak di tiadakan darinya (maksudnya, nasab anak tetap lanjut pada ibunya).
5. Pengharaman untuk selama-lamanya terhadap perempuan yang di li’an. Maka maka tidak hal bagi orang yang sumpah li’an menikahi dan menjimak nya, sebab jalan kepemilikan jika perempuan yang di li’an adalah seorang amat yang dibelinya.
Disebutkan dalam kitab yang panjang lebar keterangannya, bahwa dari lima hukum tersebut ada tambahan, di antaranya adalah gugurnya perlindungan pada perempuan yang di li’an dalam kaitannya dengan hak suami, jika perempuan tersebut tidak bersumpah li’an, sehingga jika suami menuduhnya lagi berbuat zina setelah terjadinya li’an dari suami, maka suami tidak dapat dihukum pidana tuduhan (akan tetapi ditakzir).
Dan gugur hukuman pidana yang menimpa istri yang dituduh sebab sumpah li’an nya pada sumainya, setelah sempurna sumpah lian dari pihak suami.
Jika suami yang me-li’an hadir, maka istri yang di lian mengatakan dalam sumpah li’an nya: “Saya bersaksi demi Allah, sesungguhnya Fulan ini adalah termasuk pembohong dalam hal yang dia tuduhkan terhadap saya, berupa zina“. Dan dia mengulang-ngulang perkataan sebanyak 4 kali.
Dan perempuan yang di li’an berkata untuk kelima kalinya sesudah pihak hakim atau orang yang dijadikan hakim memberi nasihat, dengan menakut-nakuti akan siksa Allah di akhirat kelak dan sesungguhnya siksa akhirat itu lebih berat daripada siksa di dunia. (dengan ucapan): “Dan aku siap menanggung murka Allah, jika dia (suami) termasuk orang-orang yang benar dalam hal zina yang di tuduhkan padaku”.
Adapun perkataan-perkataan tersebut, itu berlaku bagi orang yang dapat berbicara. Sedangkan bagi orang yang bisu, maka bersumpah li’annya dengan isyarat yang dapat memahamkan.
Jika yang sumpah li’an mengganti lafadz Syahadah yang ada dalam beberapa kata li’an, dengan lafadz Halfi. Seperti ucapan orang yang li’an: Ahlifu billah, atau (mengganti) lafadz Ghadhab dengan lafadz La’ni, atau sebaliknya, seperti ucapannya itri yang di li’an: “La’natuilaahi alaiyya“, (semoga laknat Allah menimpa diriku) dan ucapan pihak suami yang melian: Ghadhabuillaah ‘alaiyya (semoga murka Allah menimpa diriku), atau disebutkannya mising- masing dari kata ghadhab dan li’an sebelum sempurnanya persaksian empat kali, maka lian tersebut tidak sah secara keseluruhan.