Fasal ini akan menjelaskan tentang pengertian Iqran menurut bahasa dan istilah. Dalam pasal ini juga kita akan mengetahui macam-macam iqrar dan syarat orang yang beriqrar. Oleh karena itu, berikut adalah terjemah fathul qorib fasal iqrar.
Terjemah fathul qorib fasal iqrar
Iqrar menurut bahasa artinya penetapan/pengukuhan. Sedangkan pengertian iqrar menurut syara’ adalah memberitahukan hak (yang menimpa) atas diri orang yang iqrar.
Maka pengertian ini mengecualikan Syahadah (persaksian), karena Syahadah itu memberitahukan hak orang lain atas orang lain pula (yang menimpa orang lain).
Catatan:
Rukun iqrar ada empat:
- Muqqir
- Muqqar lah
- Muqqar bih
- Shigot
Adapun perkara hak yang akui itu ada dua macam :
Pertama, Haqqullah (Hak Allah), seperti hukuman mencuri dan berbuat zina. Kedua, Haqqul Adami (Hak anak Adam), seperti hukuman menuduh (zina) pada seseorang. Maka iqrar (pengakuan) yang berhubungan dengan haqullah sah untuk menarik kemabli pengakuan tersebut. Seperti ucapan orang yang mengaku berbuat zina yaitu “aku cabut pengakuan ini, atau aku berdusta dalam pengakuan ini”.
Bahkan sunnah menarik/mencabut pengakuan atas berbuat zina.
Adapun hak Adami, maka tidak sah mencabut nya kembali.
Mushaniif membedakan antara hak Adami dengan hak yang hak Allah.
Karena Sesungguhnya hak Allah Ta’ala itu dibuat atas dasar kemurahan/pengampunan. Sementara hak Adami atas dasar pertikaian.
Syarat sah iqrar (pengakuan)
Sahnya iqrar, membutuhkan ada nya tiga syarat, yaitu :
- Baligh. Maka tidak sah pengakuannya seorang anak kecil, meskipun ia mendekati masa baligh dan juga mendapat izin walinya.
- Berakal. Maka tidak sah pengakuannya orang gila, ayan dan yang hilang akal sebab suatu udzur. Bila sebab itu bukan karena udzur maka hukumnya sama dengan orang mabuk.
- Kehendak sendiri. Maka tidak sah pengakuan nya orang yang dipaksa untuk mengakui sesuatu.
Bila pengakuannya berkaitan dengan urusan harta, maka ia terkena syarat yang keempat. Yaitu ia harus “pandai”. Maksud dari “rusydu atau pandai” adalah orang yang melakukan pengakuan merupakan orang yang mutlak dalam tasarrufnya (berakal dan baligh).
Mushannif mengecualikan pengakuan berkaitan dengan urusan yaitu pengakuan berkaitan dengan selian harta, seperti talak (cerai), Dhihar dan yang semacamnya.
Maka dalam pengakuan macam ini tidak ada syarat “rusydu”, bahkan sah pengkauan keluar dari seseorang orang yang bodoh/tolol.
Mengakui sesuatu yang tidak jelas
Bila Muqir (orang yang beriqrar) melakukan pengakuan pada seseorang atas perkara yang tidak jelas, seperti ucapannya : “Saya punya tanggungan sesuatu kepada si fulan,” maka muqir di minta untuk menjelaskan pengakuan barang yang tidak jelas itu.
Maka penjelasan muqir bisa diterima dengan menyebutkan macam barang apa saja yang mengandung nilai harta, sekalipun sedikit seperti mengakui barang imitasi/tiruan (tidak asli).
Bila Muqir menjelaskan barang tidak jelas-itu-berupa barang yang memang tidak mengandung nilai harta tetapi dari barang yang ada jenisnya, seperti sebiji gandum, atau yang tidak ada jenisnya, tetapi halal menyimpan/memperoleh barang itu, seperti kulit bangkai atau anjing yang terdidik dan kotoran hewan, maka pentafsiran/penjelasan itu semua menurut qaul ashah bisa diterima.
Bila sewaktu-waktu Muqir mengaku terhadap barang yang tidak jelas, dan ia menolak untuk menjelaskannya setelah di minta untuk menejelaskan, maka ia harus di tahan/penjara hingga ia mau menjelaskan pengakuannya tersebut. Apabia ia mati sebelum menjelaskan pengakuananya, maka ahli waris di tuntut untuk menjelaskan, dan seluruh harta peninggalan mayit di tangguhkan.
Dan sah dalam melakukan pengakuan menyelipkan istitsna’ (pengecualian) bila muqir menyambung istitsna dengan mustatsna minhu (sesuatu yang terdapat pengeculian). Apabila antara istitsna’ dan mustatsna minhu terpisah dengan berdiam yang lama atau pembicaraan yang banyak yang tak ada kaitan, maka tidak sah pengakuan tersebut.
Adapun berdiam sebentar, seperti berdiam sekedar untuk bernafas, maka tidak membatalkan iqrar.
Syarat dalam istitsna (pengecualian) yaitu tidak sampai menghabiskan mustatsna minhu (sesuatu yang terdapat pengecualian).
Maka bila istitsna’ (pengecualian) itu menghabiskan Mustatsna Minhu, seperti : “pada Zaid aku punya tanggungan 10 kecuali 10. Aku menanggung sepuluh rupiah untuk Zaid, kecuali sepuluh.
Melakukan pengakuan baik saat keadaan sehat maupun sakit itu sama saja (tetap sah Iqrarnya). Sehingga bila seseorang iqrar pada waktu masih sehat, bahwa ia mempunyai tanggungan hutang pada Zaid, sedangkan pada waktu sakit ia iqrar mempunyai hutang kepada Umar. Maka tidak perlu mendahulukan pengakuan yang pertama. Dalam permasalahan seperti ini, sesuatu yang muqarru bih dibagi antara Zaid dan Umar secara sama.
Demikian Terjemah fathul qorib fasal iqrar. Semoga bermamfaat.