Dalam kitab fathul qorib, mushannif menjelaskan tentang hukum iddah dan pembagian wanita yang sedang menjalani masa idah. Serta beberapa hal yang berkaitan dengan masa idah wanita. Berikut adalah terjemah fathul qorib fasal iddah.
Terjemah Fathul Qorib Fasal Iddah
Kata iddah secara bahasa adalah berbentuk isim mashdar dari madhi /tadda. Sedangkan pengertian iddah menurut syara’ adalah penantian seorang perempuan dalam suatu masa yang bisa diketahui bebas/kosong rahimnya (dari mengandung), dengan beberapa sucian, beberapa bulan, atau melahirkan.
Perempuan yang menjalani iddah itu ada dua macam, yaitu :
Masa Iddah perempuan yang ditinggal mati suaminya
Adapun perempuan yang ditinggal mati suaminya, jika ia perempuan merdeka yang dalam keadaan hamil, maka iddahnya setelah wafat suaminya adalah melahirkan kandungannya secara keseluruhan (sempurna), hingga (anak) kedua yang kembar serta memungkinkan menisbatkan kandungannya tersebut terhadap mayat (suaminya yang meninggal), meskipun hanya dengan kemungkinan, seperti anak yang tidak diakui statusnya lantaran sumpah lian.
Jika meninggal seorang anak (yang menjadi suami) dari istri yang hamil, yang mana sesusianya tidak memungkian memproduk anak, maka iddah istrinya adalah dengan menggunakan beberapa bulan, tidak dengan melahirkan kandungan. Dan bila si istri tidak mengandung, maka iddahnya adalah 4 bulan 10 hari, terhitung dari siang beserta malamnya.
Dianggapnya beberapa bulan, itu dengan penanggalan bulan selagi masin memungkinkan. Sedangkan bulan yang pecah/tidak genap, itu di sempurnakan menjadi 30 hari.
Masa Iddah perempuan yang tidak ditinggal mati suaminya
Adapun perempuan yang tidak ditinggal mati suaminya, bila dia dalam keadaan hamil, maka masa iddahnya adalah dengan melahirkan kandungan yang memang dinisbatkan pada yang mempunyai iddah.
Dan jika istri tidak dalam keadaan hamil dan termasuk perempuan yang mempunyai kebiasaan haid, maka iddahnya adalah mengalami tiga kali masa suci.
Jika istri ditalak dalam keadaan suci, dalam arti pada waktu ditalak masih ada sisa masa sucinya, maka masa iddahnya habis dengan memasuki haid ketiga.
Atau tertalak dalam keadaan haid atau nifas, maka masa iddahnya habis memasuki haid keempat. Masa haid yang tersisa, tidak dihitung qur‘an (masa suci).
Jika istri yang menjalani masa iddah itu masih kecil atau sudah besar yang sama sekali belum pernah haid dan belum berumur habisnya darah haid (menapouse) (sekitar umur 62 tahun), atau dia seorang perempuan yang bingung atau perempuan yang sudah berumur habisnya darah haid (menapouse), maka iddahnya adalah tiga bulan menurut penanggalan, jika tertalaknya tepat pada awal bulan.
Jika dia (istri) tertalak di pertengahan bulan, maka sehabisnya bulan itu ada dua penanggalan (yang harus dilalui). Dan bulan yang pecah (tidak genap) disempurnakan, menjadi 30 hari dari bulan keempat.
Jika perempuan yang menjalani masa iddah, itu mengalami haid dalam beberapa bulan, maka kewajiban menjalani iddah baginya adalah dengan beberapa masa sucian, atau haidinya setelah habisnya (melewati) beberapa bulan (dalam iddah), maka baginya tidak wajib menjalani beberapa sucian.
Adapun perempuan yang tertalak sebelum dijima’, maka tidak ada iddah baginya, baik si suami telah menggaulinya pada bagian selain farji atau belum.
Baca juga: pengertian talak dan macamnya
Iddah perempuan amat
Adapun iddahnya perempuan amat yang hamil, ketika ia tertalak dengan talak raj’i atau bain ,yaitu dengan/sarmpai melahirkan kandungannya, dengan syarat menisbatkan kandungan pada orang yang mempunyai iddah.
Perkataan Mushannif (iddahnya amat) seperti iddahnya perempuan merdeka” yang hamil, itu dalam segala hal yang sudah disebutkan. Dan dengan beberapa sucian, yaitu dengan (melewati) dua kali masa suci.
Adapun amat muba’adh, mukatab dan Ummul walad, itu (masalah iddahnya) seperti amat. Dan dengan beberapa bulan karena ditinggal mati suami, yaitu dengan (melewati) dua bulan 5 malam.
Adapun iddahnya amat karena tertalak, yaitu dengan (melewati) satu bulan setengah, atas dasar iddahnya si amat adalah setengah iddahnya perempuan merdeka. Pendapat yang lain mengatakan dua bulan.
Dan pendapat Imam Ghazali, menguatkan pendapat yang mengatakan dua bulan. Sedangkan Mushannif, menjadikan pendapat yang mengatakan dua bulan itu lebih utama seraya berkata : “Jika iddah amat itu dengan dua bulan, maka lebih utama. “Sedangkan menurut suatu Pendapat yang lain, iddahnya amat yaitu tiga bulan.
Pendapat ini adalah yang lebih berhati-hati, sebagaimana pendapat Imam Syafi’i dan didukung sebagian besar dari sahabat beliau.