Pengarang kitab akan menjelaskan tentang pengertian hawalah atau pengalihan utang beserta contohnya. Selanjutnya pembahasan akan berfokus kepada hukum dan tata cara hawalah yang benar menurut aturan fiqih. Maka dari itu, silahkan baca terjemah fathul qorib fasal hawalah atau hiwalah berikut ini. Semoga dapat mempermudah.
Pengertian hawalah
Kata “Hawalah atau hiwalah” dengan menurut bahasa artinya “berpindah”. Sedangkan pengertian hawalah menurut syara’ adalah memindahkan hak hutang yang menjadi tanggungannya orang yang mengalihkan (muhiil) kepada orang yang dilimpahi tanggungan (muhal ‘alaih).
Dalam bab Hawalah ada tiga orang yang terlibat, yaitu:
Muhiil : Orang yang memindahkan tanggungan hutangnya.
Muhall ‘alaih : Orang yang di bebani tanggungan hutang.
Muhtaal : Orang yang memiliki hak piutang.
Contoh: si Zaid berhutang pada si Umar. si Khalid berhutang pada si Zaid. kemudian si Zaid melakukan akad Hawalah dengan cara agar si Umar menagih hutangnya si Zaid pada si khalid, karena si khalid punya tanggungan hutang pada si zaid.
Syarat hawalah
Syarat hawalah atau hiwalah ada empat macam :
Pertama, adanya kerelaan Muhil. yaitu orang yang mempunyai tanggungan hutang. Tidak disyaratkan adanya ridho dari orang yang dibebani pemindahan hutang, karena sesungguhnya memang tidak disyaratkan kerelaan orang yang dilimpahi tanggungan hutang (Muhal alaihi) menurut pendapat ashah.
Dan tidak boleh akad hawalah di bebankan pada orang yang tidak mempunyai tanggungan hutang.
Kedua, Muhtal (orang yang memiliki hak piutang pada Muhil) menerima akad tersebut.
Ketiga : Hak yang dipindahkan itu sudah tetap menjadi tanggungan. Adapun memberikan qayyid dengan kata “sudah tetap” adalah sesuai dengan pendapat Imam Rafi’i. Tetapi Imam Nawawi dalam kitab Raudhah telah menyusuli pendapat tersebut, bahwa yang anggap hutang dalam akad Hawalah itu bisa berupa hutang yang sudah luzum atau yang akan luzum.
Keempat, Adanya kesesuaian tanggungan hutang antara si Muhil dan Muhal ‘alaih dalam hal jenis kadarnya atau banyaknya, macamnya, kontan, tempo, utuh dan sudah pecahan.
Dan dengan terjadinya akad Hawalah, maka tanggungan Muhil kepada Muhtal menjadi bebas. Juga tanggunagn Muhal ‘alaih menjadi bebas kepada Muhil.
Dan hak piutangnya Muhtal berpindah kepada Muhal ‘alaihi. Sehingga apabila Muhtal mengalami kesulitan, tidak dapat mengambil piutangnya dari Muhal ‘alaih karena pailit nya muhal ‘alaih atau karena ingkar berhutang, maka sedikitpun (Muhtal) tidak boleh menarik hak piutang kepada Muhil.
Seandainya Muhal ‘Alain itu muflis (bangkrut) saat terjadinya akad Hawalah, sementara muhtal tidak mengetahui nya, maka tidak boleh juga muhtal kembali menagih pada Muhil.
Demikian terjemah fathul qorib fasal hiwalah.