Dalam kitab fathul qorib mushannif menjelaskan tentang keharaman bagi seseorang yang sedang ihram. Dan konsekuensi dari larangan tersebut. Untuk pembahasan soal dam dan fidyah akan dibahas pada artikel yang akan datang. Berikut adalah terjemah fathul qorib fasal hal yang diharamkan saat ihram.
Terjemah fathul qorib hal yang diharamkan saat ihram
Membicarakan tentang hukum-hukum dari hal-hal yang diharamkan saat berihram. Haram bagi orang yang sedang Ihram, yaitu 10 perkara.
Pertama, Mengenakan pakaian yang berjahit seperti baju kurung baju qaba’ (baju yang bagian mukanya bisa dibuka), muzah dan juga pakaian yang dianyam seperti baju besi (baju perang zaman kuno), atau yang diikat seperti pakaian anyam-anyaman (semacam anyaman rambut) yang dikenakan di seluruh (anggota) badannya.
Kedua, Mengenakan tutup kepala atau sebagian kepala bagi laki-laki dengan menggunakan apa saja yang bisa dianggap sebagai tutup seperti surban dan (yang terdiri dari) tanah.
Oleh karena itu, jika menggunakan benda yang tidak dianggap sebagai penutup seperti meletakkan tangannya di atas sebagian kepalanya, juga seperti menyelam dalam air, dan berteduh di (bawah) pengangkut kelambu (sekedup unta), walaupun benda itu menyentuh kepala orang yang ihram.
Dan haram bagi perempuan mengenakan tutup wajah atau sebagian wajah, dengan menggunakan apa saja yang bisa dianggap sebagai tutup.
Dan bagi perempuan hendaknya ia menutupi sebagian dari wajahnya, yaitu bagian yang ada pada wajah yang menjadi penyempurna untuk menutupi keseluruhan kepalanya.
Dan boleh bagi perempuan menurunkan kain (tutup kepala) pada wajahnya sambil direnggangkan dengan menggunakan sebuah kayu dan yang serupa dengannya.
Sedang seorang khuntsa – sebagaimana perkataan al-Qadhi Abu Thayyib- diperintah menutup kepalanya dan (dia boleh) mengenakan kain yang berjahit.
Adapun tentang bayar fidyah, maka menurut pendapat kebanyakan Ulama, bahwa apabila seorang khuntsa menutupi wajahnya atau kepalanya, maka tidak ada kewajiban bayar fidyah, karena setatusnya masih diragukan. Dan (tetapi) apabila dia menutup kedua-duanya (kepala dan sekaligus wajahnya), maka wajiblah membayar fidyah.
Ketiga, hal yang diharamkan saat ihram adalah Menyisir rambut. Demikian ini, mushannif telah menganggap bahwa menyisir rambut itu termasuk bagian dari hal-hal yang diharamkan saat berihram.
Tetapi menurut keterangan yang terdapat dalam kitab Syarah Muhadzdzab bahwa menyisir rambut itu hukumnya makruh.
Dan demikian juga makruh menggaruk rambut dengan menggunakan kuku.
Keempat, Mencukur, mencabut, membakar rambut, atau menghilangkan rambut dengan cara apapun dan (bahkan) walaupun dalam keadaan lupa.
Kelima, Memotong kuku. Maksudnya, menghilangkan beberapa kuku tangan atau kaki dengan cara memotong dan cara lainnya kecuali ketika patah (retak) sebagian kuku. sedang dia merasa sakit. Maka (jika demikian), baginya boleh menghilangkan kuku yang retak saja.
Keenam, menggunakan wewangian (secara sadar) dengan tujuan memanfaatkan bau harumnya wangi-wangian itu sendiri.
misalnya menggunakan minyak misik dan kapur barus pada pakaiannya dengan cara yang biasa dilakukan pada wewangian.
Atau menggunakan wewangian pada (anggota) badannya, baik bagian luar badan atau pada bagian dalam badan, seperti memakan wewangian.
Dan tidak terdapat perbedaan bagi laki-laki atau perempuan dalam hal (harumnya) memakai wewangian, baik hidungnya dalam keadaan tersumbat atau tidak.
Dan dengan kata-kata “sengaja melakukan”, mengecualikan ketidaksengajaan dalam hal pemakaian wewangian seperti wewangian yang terbawa angin dan menempel pada badan orang yang sedang ihram. Atau dia dipaksa, tidak mengetahui tentang keharaman menggunakan wewangian, atau lupa bahwa ia sedang berihram. Kalau demikian, sungguh bagi orang tersebut tidak wajib membayar fidyah.
Kemudian, apabila dia mengetahui tentang keharaman menggunakan wewangian namun tidak mengetahui akan keharusan membayar fidyah (sebab mengenakannya) maka tetap wajib bayar fidyah.
Ketujuh, Membunuh hewan buruan yang hidup di darat dan yang boleh dimakan dagingnya atau pada asalnya (dasarnya) binatang itu boleh dimakan dagingnya, yaitu seperti binatang liar dan burung. Dan haram pula memburu binatang dan memegang nya dan juga bermain-main pada sebagian tubuhnya rambut dan bulunya.
Kedelapan, hal yang diharamkan saat ihram selanjutnya adalah akad nikah. Maka, bagi orang yang sedang ihram haram melaksanakan akad nikah baik buat dirinya sendiri atau untuk orang lain dengan statusnya sebagai wakil atau sebagai wali.
Kesembilan, Melakukan hubungan badan, yaitu (dikerjakan) dari orang yang berakal sehat lagi pula mengetahui atas keharaman hal tersebut.
Baik dia melakukan hubungan badan saat dalam ibadah haji atau saat dalam ibadah umrah.
Baik dia lakukan pada bagian qubul (alat kelamin) atau pada bagian dubur. Baik hal itu dikerjakan oleh orang laki-laki atau orang perempuan, oleh seorang istri atau seorang budak perempuan miliknya, atau oleh orang perempuan lain yang tidak ada hubungan apa-apa.
Kesepuluh, bersentuhan langsung antar kulit, pada bagian yang selain farji (alat kelamin wanita) yaitu seperti menyentuh kulit dan mencium dengan disertai syahwat.
Bila tanpa disertai syahwat, maka hukumnya tidak haram.
Dan semua pelanggaran bagi orang yang ihram itu mewajibkan membayar fidyah.
Melakukan hubungan badan menyebabkan rusaknya (batalnya) umrah yang dikerjakan secara tersendiri (bukan bersama-sama ibadah haji).
Adapun umrah yang dikerjakan dalam lingkup ibadah haji seperti haji Qiran, maka mengenai sah dan tidaknya umrah mengikuti haji nya.
Adapun Jima, maka hal itu bisa merusak keabsahan Ibadah haji (apabila dilakukan), sebelum tahallul yang pertama (sebelum melempar jumrah wustha, tawaf ifadhah dan sai) baik sehabis wuquf, atau sebelumnya.
Adapun Jima setelah bertahallul awal maka tidak dapat merusak keabsahan haji kecuali melaksanakan akad nikah (maka tidak berkewajiban bayar fidyah) karena akad nikah (yang saat itu dilaksanakan) hukumnya tidak sah.
(Pelanggaran tersebut) tidak ada yang dapat merusak keabsahan ibadah haji kecuali melakukan hubungan badan. Lain halnya dengan sentuhan langsung (antar kulit laki-laki dengan perempuan) yang selain pada farji, maka sentuhan tersebut tidak dapat merusak keabsahan ibadah haji.
Bagi orang yang sedang ihram tidak diperkenankan keluar (menyudahi) ibadah hajinya sebab rusak (batal). Tetapi baginya wajib meneruskan ibadah haji.
Dalam sebagian keterangan redaksi kitab lain, tidak ada kata-kata mushannif “(meneruskan) ibadahnya yang rusak itu” namun ia harus menunaikan sisa amal-amal kedua ibadah haji dan umrah.
Barangsiapa sedang beribadah haji laku tertinggal (belum melaksanakan) wuquf di padang ‘Arafah, baik sebab ada ‘udzur atau sebab lainnya, maka dia wajib bertahallul (dengan segera niat keluar dari ibadah haji) dengan mengerjakan Umrah, Maka dia menunaikan tawaf dan Sai jika dia belum melaksanakan Sai sehabis tawaf Qudum.
Bagi orang yang tertinggal (belum sempat) Wuquf, maka wajib qadha seketika, baik ibadah haji fardhu atau sunnah.
Dan kewajiban melaksanakan qadha pada ibadah yang masih tertinggal itu, sesungguhnya (ketertinggalan) yang tidak saat dia sedang muncul berada dari (tengah) pengepungan. Oleh karena itu, jika ada seseorang terkepung, sedang dia mempunyai jalan lain, maka dia wajib menempuh jalan tersebut, walaupun dia mengetahui (sadar) akan tertinggal ibadah haji.
Kemudian, jika orang tersebut meninggal dunia, maka yang tertinggal itu, tidak wajib diqadha menurut pendapat yang shahih.
Dan wajib bagi orang tersebut disamping mengqadha juga memberi hadiyah (membayar Dam).
Dalam sebagian redaksi kitab lain didapatkan suatu tambahan keteranganyaitu “Barangsiapa meninggalkan satu rukun (saja), yaitu hal-hal yang keabsahan ibadah haji mesti tidak lepas daripadanya, maka dia tidak diperkenankan tahallul dari ibadah Ihramnya, sehingga dia menunaikan (dahulu) rukun yang masih tertinggal tersebut.
Dan rukun yang tertinggal tersebut, tidak wajib ditambal dengan membayar Dam (denda).
Barangsiapa meninggalkan satu dari beberapa kewajiban ibadah haji, maka baginya berkewajiban membayar “Dam”.
Baca juga; wajib haji
Penjelasan “Dam”, akan diterangkan nanti.
Barang siapa meninggalkan satu dari kesunnahan haji, maka baginya tidak berkewajiban melaksanakan apa-apa.
Dan jelaslah sudah dari uraian kitab matan tersebut, pengertian antara rukun, wajib dan sunnah (dalam ibadah haji).