Dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak pernah terlepas dari kata pinjam. Baik itu orang lain yang meminjam, atau kita yang meminjam. Nah, fasal ini akan menjelaskan kepada kita mengenai hukum Ariyah atau pinjaman. Dan apa syarat yang harus terpenuhi ketika meminjam atau meminjamkan sesuatu. Maka dari itu, berikut adalah terjemah fathul qorib fasal ariyah.
Pengertian Ariyah atau Pinjaman
Menerangkan tentang hukum ‘Ariyah (pinjaman). Lafazh ‘Ariyah dengan huruf “ya” musyyaddah menurut qaul ashah diambil dari lafadl “Aara” artinya “pergi ketika ia telah pergi”.
Sedangkan ariyah menurut syara adalah membolehkan/mempersilahkan mengambil manfaat suatu barang yang halal untuk diambil manfaatnya dari orang yang ahli bersedekah karena Allah, beserta utuhnya keadaan barang tersebut, agar kelak di kembalikan lagi pada kepada yang meminjamkannya.
Catatan: Rukun Ariyah ada empat:
- Mu’ir : orang yang meminjamkan
- Musta’ir : orang yang meminjam
- Mu’ar : barang yang dipinjam
- Shigat : Ijab dan qobul
Syarat Mu’ir (orang yang meminjamkan)
Adapun syarat mu’ir adalah sah tabbaru dan merupakan pemilik manfaat barang yang ia pinjamkan. Maka orang yang tidak sah tabarru-nya (dalam menderma karena Allah-nya), seperti anak kecil dan orang gila, maka tidak sah pula ia meminjamkan sesuatu.
Bagi orang yang bukan pemilik manfaat barang seperti musta’ir maka ia tidak sah meminjamkan barang pinjaman kecuali mendapat izin dari pemilik barang.
Mushannif memberikan batasan mu’ar dalam perkataannya: “bahwa setiap sesuatu yang bisa diambil manfaatnya berupa manfaat yang diperbolehkan oleh syara’ beserta tetapnya keadaan barang tersebut, maka boleh meminjamkan barang tersebut.
Kata “Mubahah” mengecualikan alat hiburan (yang mengandung kemaksiatan), maka tidak sah meminjamnya.
Kata “tetapnya keadaan barang” mengecualikan meminjam lilin untuk dinyalakan, maka tidak sah pula meminjamnya.
Perkataan mushannif : “Ketika manfaat barang itu berupa atsar (bekas)”. Ini menggecualikan manfaat yang berupa benda, seperti meminjam kambing, agar diambil air susunya, meminjam pohon agar diambil buahnya dan contoh lain, maka akad pinjaman semacam itu hukumnya tidak sah.
Seandainya ada orang berkata kepada seseorang : “Ambilah kambing ini, dan aku mengizinkan untuk mengambil air susu dan anaknya. Maka pembolehan demikian hukumnya sah, dan kambingnya bersetatus pinjaman.
Hukum pinjam meminjam
Pinjam meminjam hukumnya boleh baik secara mutlak “tanpa memberi qayyid suatu waktu” atau muqayyad (di batasi dengan waktu). Contoh : “Aku pinjamkan pakaian ini padamu dalam waktu satu bulan”.
Bagi Mu’ir boleh menarik kembali barang yang ia pinjamkan kepada orang lain secara mutlak maupun yang muqayyad kapan saja ia mau.
Apabila barang pinjaman itu mengalami kerusakan karena penggunaan yang tidak sesuai izin, maka musta’ir harus bertanggung jawab untuk mengganti rugi harga barang tersebut pada saat terjadinya kerusakan. bukan harga barang saat terjadinya pinjam meminjam.
Tidak harus dengan harga termahal saat terjadinya kerusakan. Dan jika barang pinjaman rusak sebab penggunakan yang sesuai izin seperti meminjam pakaian untuk dipakai, kemudian menjadi rusak atau lumat sebab pemakaiannya, maka musta’ir tidak wajib untuk menanggung ganti rugi atas kerusakan tersebut.