Sering kita jumpai di masjid-masjid sebagian jamaah yang menderita sakit melaksanakan shalat dengan duduk di atas kursi. Orang yang sedang sakit sehingga tidak mampu berdiri dapat melaksanakan shalat dengan duduk sesuai petunjuk Nabi Muhammad SAW:
عَنِ ابْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ كَانَتْ بِي بَوَاسِيرُ فَسَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الصَّلاَةِ فَقَالَ صَلِّ قَائِمًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ رواه البخاري
Artinya, “Diriwayatkan dari Ibnu Buraidah, dari Imran bin Hushain RA, ia berkata, ‘Aku menderita penyakit wasir, lalu aku bertanya tentang shalat (dalam kondisi sakit) kepada Nabi Muhammad, kemudian beliau menjawab, “Shalatlah dengan berdiri, bila tidak mampu maka dengan duduk, dan bila tidak mampu maka dengan tidur miring,’” (H.R Al-Bukhari)
Hadits di atas merupakan penjelasan terhadap firman Allah Surat Al-Baqarah ayat 286, yaitu:
لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا
Artinya, “Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai batas kemampuanya.”
Batasan Sakit Yang Diperbolehkan Duduk
Mengingat shalat tetap wajib dilakukan sepanjang kesadaran masih sehat, maka seseorang yang tidak mampu melakukasebagaimana mestinya tidak berarti boleh meninggalkan shalat.
Terkait tata cara shalat sambil duduk di kursi dan batasan sakit yang diperbolehkan duduk, para ulama ahli fiqih telah merumuskanya secara detail.
Siapapun yang shalat dengan posisi duduk tentu harus mengikuti rumusan para ulama ahli fiqih sehingga dengan demikian ibadah kita terbimbing oleh ahlinya.
Batasan kebolehan shalat dengan posisi duduk didasarkan pada kesulitan berat (masyaqaah syadidah) yang dirasakan. Yaitu kesulitan yang pada umumnya seseorang tidak sanggup menanggung/menahan, walau kesulitan itu belum mencapai batas uzur kebolehan bertayammum.
Mengenai kesulitan berat, para ulama berbeda pendapat:
1. Menurut Ibnu Hajar: Bukan sekadar masyaqqat yang menghilangkan kekhusyukan, bahkan harus lebih dari itu.
2. Menurut Muhammad Ramli: Batasan kesulitan berat ketika sudah sampai menghilangkan kekhusyukan shalat.
3. Menurut As-Syarqawi adalah masyaqqat yang menghilangkan kesempurnaan khusyuk.
Dalam kitab Busyral Karim, halaman 200 tertulis:
وله (فَإنْ لَمْ يَقْدرْ) عَلىَ الْقيَام بأنْ لَحقَتْهُ به مَشَقةٌ شَديْدَةٌ أوْظَاهرَةٌ عبَارَتَان مَعْنَاهُمَا وَاحدٌ وَهيَ التيْ لاَ تُحْتَمَلُ عَادةً وَإنْ لمْ تُبح التيمُمَ كدَوَرَان رْأس وَهَلْ التيْ تذهبُ الخُشُوْعَ شَديدَةٌ ؟ قَالَ (حج) لاَ و (مر) نَعَمْ بَلْ قاَلَ الشرْقاَويْ أوكَمَالَهُ ( قَعَدَ) كَيْفَ شَاءَ وَلاَ يَنْقُصُ ثَوَابَه
Artinya, “Lalu apabila seseorang tidak kuasa berdiri dalam arti menimbulkan kesulitan berat atau yang jelas. Yaitu kesulitan yang pada umumnya tidak dapat ditahan walaupun tidak sampai –uzur–membolehkan tayamum seperti rasa berputar-putar pada kepala (mumet, sunda: puyeng).
Apakah maksud masyaqqat syadidah itu adalah yang menghilangkan kekhusyukan?
Ibnu Hajar berkata, ‘bukan;’ Muhammad Ramli berkata, ‘iya;’ bahkan As-Syarqawi berkata, masyaqqat yang menghilangkan kesempurnaan khusyu. Maka seseorang boleh shalat duduk dengan cara apa saja yang ia inginkan dan tidak mengurangi pahala berdiri,”.
Al-Husain bin Mas’ud Al-Baghowi mendefinisikan khusyu dalam shalat sebagai berikut.
اْلخُشُوْعُ فِي الصَّلاَةِ هُوَجَمْعُ اْلهِمَّةِ وَاْلِإعْرَاضُ عَمَّا سِوَى اللهِ وَالتَّدَبُّرُ فِيْمَا يَجْرِيْ عَلىَ لِسَانِهِ مِنَ اْلقِرَاءَةِ وَالذِّكْرِ
Sumber: https://islam.nu.or.id/shalat/tata-cara-shalat-dengan-posisi-duduk-di-kursi-FF2PM
Khusyu dalam shalat adalah memusatkan perhatian, berpaling dari selain Allah, dan merenung terhadap apa yang dibaca oleh lisanya baik bacaan (al-Qur’an) dan zikir,”.
Tata Cara Sholat dengan Duduk di Kursi
Berdiri merupakan rukun sholat. Bagi yang tidak mampu shalat dengan berdiri, maka baginya boleh melaksanakan shalat dengan cara duduk.
Ulama tidak memberikan ketentuan perihal tata cara sholat dengan duduk di kursi. Sehingga seseorang boleh saja sholat duduk di kursi.
Namun yang utama adalah duduk iftirasy (duduk sebagaimana tasyahhud awwal).
Perlu kita pahami bersama bahwa duduk adalah penganti rukun berdiri. Sehingga duduk hanya boleh dilakukan saat benar-benar merasakan masyaqqat.
Seseorang mungkin tidak mampu berdiri, akan tetapi ia masih mampu rukuk dan sujud dengan sempurna. Maka Ia boleh shalat dengan duduk di atas kursi (pengganti berdiri), serta wajib sujud dan rukuk dan sujud sebagaimana mestinya.
Sehingga ia tidak boleh rukuk dan sujud dengan hanya membungkuk dengan tetap duduk di kursi.
Jadi, jangan sampai meninggalkan rukun asli (sujud dengan sempurna) demi mendapatkan posisi rukun pengganti (duduk di kursi).
Ibnu hajar Al-haitami mengungkapkan dalam kitab Tuhfatul Muhtaj halaman 21:
فَإِذَا كَانَ يَقْدِرُ عَلَى الْقِيَامِ إلَى قَدْرِ الْفَاتِحَةِ ثُمَّ يَعْجِزُ قَدْرَ السُّورَةِ قَامَ إلَى تَمَامِ الْفَاتِحَةِ ثُمَّ قَعَدَ حَالَ قِرَاءَةِ السُّورَةِ ثُمَّ قَامَ لِلرُّكُوعِ وَهَكَذَا
Artinya, “Lalu jika seseorang mampu berdiri sampai kadar bacaan Al-Fatihah, kemudian ia lemah (tidak mampu) dalam kadar bacaan surat, maka ia wajib berdiri sampai bacaan Al-Fatihah-nya sempurna. Kemudian duduk ketika membaca surat, kemudian berdiri lagi untuk melakukan rukuk dan seterusnya,”.
Ibnu Hajar Al-Haitami menambahkan, apabila seseorang mampu berdiri, namun tidak mampu rukuk dan sujud sebab menderita sakit di punggung yang mencegahnya membungkuk. Maka ia tetap wajib berdiri sekalipun dengan bantuan orang lain, bahkan walaupun dengan posisi miring ke samping, bahkan walaupun dengan membukuk mendekati batas posisi rukuk.
Menurut ibnu Hajar Al-haitami, untuk rukuk dan sujud ia dapat melakukannya sesuai kadar kemampuan. Yaitu berusaha dengan semampunya membungkukkan punggung, leher, kepala kemudian pandangannya. Hal ini berdasarkan kaidah: “Sesuatu yang masih mampu dilakukan tidaklah begitu saja gugur sebab sesuatu yang sulit dilakukan.”