Tata Cara Sholat Lihurmatil Waqti

Diposting pada

Sholat Lihurmatil Waqti – Sholat adalah ibadah paling utama dalam ajaran Islam. Amal ibadah yang paling utama di hisab adalah sholat. Dalam sholat ada beberapa ketentuan yang sangat rinci.

Diantara kewajiban yang harus terpenuhi sebelum melaksanakan sholat adalah suci hadat kecil dan besar, menutup aurat dan menghadap kiblat. Setelah semua itu terpenuhi, barulah ia boleh melaksanakan sholat. Apabila syarat tersebut tidak penuhi, maka sholat nya tidak sah.

Namun, ada beberapa kondisi seseorang boleh melaksanakan sholat tanpa syarat diatas. Shalat tersebut adalah sholat lihurmatil waqti!

 

Pengertian Shalat Lihurmatil Waqti

Dalam literatur fiqh, kita mengenal dengan sholat Lihurmatil Waqti (sholat untuk menghormati waktu).

Lalu apa itu sholat lihurmatil waqti? Berikut adalah penjelasannya.

Imam Nawawi dalam kitab Majmu Syarah Muhadzab mendefinisikan sholat lihutmatil waqti sebagai sholat yang dilakukan ketika tidak ada air dan debu, sedangkan waktu sholat telah masuk.

Atau bisa juga diartikan sebagai sholat yang dikerjakan dalam keadaan tidak memenuhi syarat dan rukun sholat. Shalat ini bertujuan untuk menghormati waktu sholat. [1]

Imam al-Qulyubi dalam salah satu karyanya menyampaikan salah satu riwayat yang menjadi dalil di balik wajib nya sholat bagi orang yang tidak menemukan air dan debu, atau tidak mampu menyempurnakan rukun sholat dan syarat sahnya sholat.

Sayyidah Aisyah meriwayatkan sebuah hadits sebagaimana diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim:

رَوَتْ عَائِشَةُ أَنَّهَا اسْتَعَارَتْ قِلَادَةً مِنْ أَسْمَاءَ فَهَلَكَتْ، فَأَرْسَلَ رَسُولُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُنَاسًا فِي طَلَبِهَا، فَحَضَرَتْ الصَّلَاةُ وَلَيْسُوا عَلَى وُضُوءٍ، وَلَمْ يَجِدُوا مَاءً فَصَلُّوا وَهُمْ عَلَى غَيْرِ وُضُوءٍ، فَأَنْزَلَ اللّٰهُ آيَةَ犀利士
التَّيَمُّمِ

Artinya, “Sayyidah Aisyah meriwayatkan bahwa ia pernah meminjam kalung dari Asma’. Kemudian (kalung itu) hilang, maka Rasulullah mengutus seseorang untuk mencarinya. (Setelah kalung itu ditemukan) waktu sholat tiba sedangkan dia dalam keadaan tidak berwudhu dan tidak menemukan air (untuk wudhu), akhirnya mereka melakukan salat (tanpa wudhu). Setelah kejadian itu, Allah menurunkan ayat tayammum.”[2]

Ibnu Hajar al-Asqalani memberikan pendapat, hadits tersebut merupakan hujjah bahwa wajib melaksanakan shalat bagi orang yang tidak menemukan air maupun debu.

Karena para sahabat Nabi pada waktu itu sholat karena mereka meyakini sholat itu tetap wajib meskipun tidak berwudhu.

Dan juga, jika semua ini diharamkan, maka pasti Rasulullah saw akan mengingkarinya.

Pendapat ini merupakan pendapat ulama madzhab Syafi’i, Imam Ahmad, mayoritas ahli hadits, dan sebagian besar ulama madzhab Maliki. [3]

 

Penyebab Sholat Lihurmatil Waqti

Sholat lihurmati waqti merupakan ibadah yang sah dan membatalkan kewajiban pada waktu atau kondisi tertentu.

Namun, sholat nya harus di ulang, menurut pendapat madzhab syafi’i. Karena, sholat tersebut hanyalah sarana untuk menghormati waktu sholat yang telah masuk, tidak sepenuhnya menghilangkan kewajiban sholat. [4]

Setidaknya ada empat sebab seseorang melaksanakan sholat Lihurmatil Waqti.

Pertama, Tidak ditemukannya sarana untuk bersuci, baik berupa air maupun debu.

Dan dalam literatur fiqh dikenal dengan istilah fâqiduth thahûraini.

Kedua, dalam perjalanan. jika Anda keluar dari kendaraan untuk menunaikan sholat, Anda akan tertinggal dari rombongan, atau khawatir harta Anda akan dicuri orang lain.

Ketiga, sholat dalam keadaan najis dan tidak ada debu untuk menghilangkannya, sedangkan ada air yang dibutuhkan oleh orang-orang yang bersamanya ketika haus.

Keempat, orang yang disalib, diikat, berada di perahu, dan orang sakit yang tidak dapat mengambil air, atau dapat mengambil air tetapi tidak dapat berwudhu.

Cara Sholat Lihurmatil Waqti

Adapun pelafalan niat sholat lihurmatil waqti untuk sholat zuhur yaitu:

أُصَلِّيْ فَرْضَ الظُّهْرِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ لِحُرْمَةِ الْوَقْتِ لِلّٰهِ تَعَالَى

Ushallî fardladh dhuhri arba’a raka’âtin lihurmatil waqti lillâhi ta’âla.

Artinya, “Aku niat sholat Zuhur empat rakaat karena aku menghormati waktu karena Allah ta’ala.”

Begitu juga dengan pengucapan niat sholat Lihurmatil Waqti untuk sholat Ashar, Maghrib, Isya’ dan Subuh. Hanya perlu mengubah pengucapan nama sholat dan jumlah rakaat.

Yang wajib adalah niat dalam hati beserta takbiratul ihram.

Sedangkan secara teknis, jika memungkinkan untuk berdiri, maka berdirilah, kemudian rukuk dan sujud dengan benar.

Namun jika tidak memungkinkan rukuk dan sujud sesuai ketentuan, maka cara rukuk yang benar adalah menundukkan kepala, setelah itu i’tidal, kemudian sujud dengan menundukkan kepala lebih rendah dari rukuk.

Sholat Lihurmatil Waqti umumnya dilakukan saat bepergian, misalnya saat mengendarai kendaraan; bus, kereta api, kapal, dan lainnya.

Habib Hasan bin Ahmad bin Muhammad al-Kaf dalam kitab Taqriratus Sadidah menjelaskan bahwa orang yang mengendarai kendaraan, seperti bus, kereta api, dan perahu, wajib menyelesaikan rukuk dan sujudnya, serta harus menghadap kiblat dalam semua sholatnya. Tentu kewajiban ini berlaku ketika kondisi memungkinkan.

Jika ini tidak memungkinkan, maka boleh sholat semampu nya . Begitu juga orang yang bepergian dengan pesawat.

Jika ia tidak mampu sholat tepat waktu sebelum naik pesawat (lepas landas) atau setelah mendarat (mendarat), maka wajib baginya sholat dalam pesawat dengan rukuk dan sujud sebagaimana mestinya, dan juga menghadap kiblat jika hal itu memungkinkan.

Jika tidak, maka boleh sholat semampu nya. [5]

  1. Imam Zakaria Muhyiddin bin Syaraf an-Nawawi, Majmu Syarhil Muhadzdzab, [Bairut: Darul Kutub al-Ilmiah, 1998], bab 1, hal. 392.
  2. Imam Ahmad Salamah al-Qulyubi, Hasyiyata Qulyubi wa ‘Umairah, [Bairut: Darul Fikr, 2002], juz 1, hal. 110.
  3. Ibn Hajar al-Asqalani, Fathul Bari Sayarah Sahih Bukhari, [Bairut: Darul Ma’rifah, 1998], juz 1, hal .440.
  4. Wazaratul Auqaf wasy Syu’un Islamiah, Mausu’ah Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, [Kuwait: Dar as-Shafwah, 1984] , juz 14, hal.273.
  5. Habib Hasan bin Ahmad bin Muhammad bin Salim al-Kaf, Taqriratus Sadidah, [Darul Minhaj, Damascus, 2005], hlm. 201.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *