Pengertian wakaf secara bahasa adalah menahan. Pengertian wakaf menurut istilah (syara’) adalah menahan harta tertentu yang dimiliki, dan dapat dialihkan hak kepemilikannya serta bisa dimanfaatkan tanpa menghilangkan barangnya, dengan memutuskan hak tasaruf pada dzatnya barang tersebut untuk ditasarufkan pada hal yang mubah dan wujud.
Penjelasan pengertian wakaf
Harta tertentu : Harta wakaf harus tertentu, maka dari itu dua perkara yang terkecualikan.
1. Barang yang samar (tidak jelas). Misalnya seseorang berkata: “Saya mewakafkan salah satu dari dua rumah”, maka hukumnya tidak sah.
2. Wakaf barang dalam tanggungan.
Wakaf terhadap barang tersebut hukumnya tidak sah, karena tidak berkata tertentu. Misalnya seseorang mewakafkan rumah yang sifat-sifatnya demikian dan demikian yang dalam tanggungan saya”.
Milik wakif : Barang wakaf harus miliknya wakif (yang mewakafkan). Maka tidak sah mewakafkan barang yang tidak ia miliki serta dapat di alihkan hak kepemilikannya
Bermanfaat : Baik manfaat yang secara nyata maupun secara hukum, manfaat hari ini atau kemudian hari.
Maka tidak sah mewakafkan hewan keledai yang lumpuh (cacat permanen), alat hiburan yang haram dan budak yang cacat permanen.
Sedangkan mewakafkan anak keledai yang masih kecil hukumnya sah, karena terdapat manfaat setelah besar.
Tanpa menghilangkan barangnya: maksudnya adalah barang tersebut harus awet / tidak boleh rusak atau hilang ketika digunakan.
Maka tidak sah mewakafkan sabun dan sejenisnya, karena akan rusak dan hilang saat digunakan.
Dengan memutuskan hak tasaruf: Artinya, menahan harta dengan memutus atau mencegah untuk mentasarufkan, selanjutnya kepemilikan barang wakaf berpindah dari orang yang mewakafkan kepada Allah SWT.
Pada dzatnya barang tersebut : Kecuali manfaatnya dari barang wakaf, yaitu barang yang dihasilkan, keturunan (anak), susu dan lainnya. Maka dzatnya barang tetap milik mauquf alaih (yang menerima wakaf).
Pada tempat tasaruf: Tempat untuk mentasarufkan harus tertentu (jelas), baik tempat tasaruf bersifat umum, misalnya orang-orang faqir, atau bersifat khusus, misalnya Zaid dan anak-anaknya.
Maka menurut mayoritas ulama, wakaf dengan perkataan “Saya mewakafkan rumah pada Allah ta’ala”, hukumnya tidak sah.
Yang mubah: Maka tidak sah mewakafkan pada para perampok dan penyembah berhala.
Dan wujud : Artinya penerima wakaf sudah wujud saat melakukan wakaf.
Terkecuali jika penerima sudah terputus sejak awal (belum wujud), maka wakaf seperti itu hukumnya batal (tidak sah).
Seperti wakif (yang mewakafkan) berkata: “Saya mewakafkan rumah pada seorang laki-laki (yang tidak jelas orangnya), atau pada masjid (yang akan dibangun), atau pada mayat“. Sehingga, jika setelah itu wakif menjelaskan identitas orang tersebut, misalnya wakif berkata: “ia adalah fulan bin fulan”, maka hukumnya tetap tidak sah, karena dasar atau pondasi awal sudah terputus.
Dalil Wakaf
Dasar hukumnya wakaf adalah Firman Alloh dalam surat Ali Imran ayat 92.
لن تنالوا البر حتى تنفقوا مما تحبون
Artinya: Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.
Sahabat Abu Thalhah ketika mendengar ayat tersebut bergegas mewakafkan kebun “bairuha”, yaitu kebun kurma miliknya yang paling ia sukai.
Dan hadits riwayat Muslim.
إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث : صدقة جارية ..إلى آخر الحديث
Artinya: Ketika anak Adam meninggal, terputuslah amalnya kecuali tiga perkara : sedekah jariyah…..dan seterusnya hadits.
Menurut para ulama, maksud dari sedekah jariyah adalah wakaf.
Rukun Wakaf
Rukun wakaf ada empat.
1. Waqif (yang mewakafkan).
2. Mauquf alaih (penerima wakaf).
3. Mauquf (barang wakaf).
4. Shigat (pernyataan sebagai iqrarnya waqif).
Syarat Waqif
Syarat waqif (yang mewakafkan) ada dua.
1. Dengan kemauannya sendiri.
2. Ahli berderma (berbuat baik), sekaligus juga mutlak tasarufnya.
Setiap orang yang ahli bertabarru’ hukumnya sah untuk bertasaruf, tetapi tidak setiap orang yang sah untuk bertasaruf hukumnya sah untuk bertabarru’.
Catatan :
Wakif harus orang yang ahli tabarru’ dan hak tasarufnya dalam harta tidak dibatasi oleh hakim. Orang yang mutlak tasarufnya namun tidak ahli tabarru’ tidak sah untuk wakaf, contohnya budak mukatab.
Begitu juga tidak termasuk ahli tabarru’ adalah wali atau orang yang mengelola hartanya anak kecil, dia boleh untuk bertasaruf dalam harta yang dia kelola, namun tidak boleh mewakafkan harta tersebut.
Sedangkan anak kecil, orang gila dan orang-orang yang dibatasi hak tasarufnya, maka mereka bukan termasuk orang yang ahli tabarru’ dan bukan pula orang yang tasarufnya.
Baca juga: rukun jual beli dalam islam
Syarat Mauquf Alaih
Syarat mauquf alaih (penerima wakaf) ada dua.
1. Tidak untuk maksiat.
2. Mempunyai hak untuk memiliki jika penerima wakafnya tertentu.
Artinya, syarat penerima wakaf harus mempunyai hak untuk memiliki sesuatu, walaupun ia masih anak-anak. Maka wakaf pada anak kecil hukumnya sah.
Terkecuali dari hal tersebut (hak memiliki) ada 5 (lima) perkara.
1. Hewan ternak.
Hewan ternak tidak mempunyai hak untuk memiliki, maka tidak sah wakaf padanya. Kecuali jika yang mewakafkan bertujuan mewakafkan pada pemilik hewan ternak, maka hal itu hukum nya boleh.
2. Budak.
Budak tidak mempunyai hak untuk memiliki, maka tidak sah wakaf pada budak. Kecuali jika waqif bertujuan wakaf pada sayyid atau majikannya (maka hukumnya sah).
3. Mayat.
Mayat juga tidak mempunyai hak untuk memiliki. Kecuali jika yang mewakafkan bertujuan shadaqah atas namanya, maka hal itu boleh.
4. Janin.
Tidak sah wakaf pada janin (anak yang masih dalam kandungan), karena belum mempunyai hak untuk memiliki sesuatu.
5. Diri waqif sendiri.
Tidak sah wakaf pada diri sendiri. Terkecuali beberapa hal seperti wakaf pada ulama atau orang-orang sufi dengan sifat-sifat tertentu, dan wakif termasuk dalam golongan orang-orang tersebut, dan seterusnya.
Wakaf Pada Seseorang Yang Belum Wujud
Masalah: Apabila waqif mewakafkan barang pada orang yang belum wujud (misalnya anak yang belum lahir), maka hukumnya tidak sah. Kecuali jika mauquf alaih yang belum wujud tersebut di ikutkan pada mauquf alaih yang sudah wujud.
Misalnya waqif berkata: “Saya mewakafkan rumah ini pada Zaid dan anak-anaknya“, maka wakaf ini hukumnya sah, walaupun saat itu Zaid belum mempunyai anak.
Atau wakif berkata : “Saya mewakafkan mushaf-mushaf ini pada masjid ini dan semua masjid yang akan di bangun“, maka hukumnya juga sah.
Syarat Mauquf
Syarat-syaratnya mauquf (barang wakaf) ada delapan.
1. Mauquf (barang wakaf) harus berupa benda atau ‘ain (sesuatu yang ada materinya).
Ada dua hal yang terkecuali dari syarat tersebut;
- Barang yang dalam tanggungan.
- Barang yang berupa manfaat (jasa).
2. Mauquf harus tertentu.
Maka tidak sah mewakafkan barang yang tidak jelas (mubham), misalnya mewakafkan salah satu dari dua rumah. Sedangkan mewakafkan harta atau benda milik bersama hukumnya sah. Seperti mewakafkan sebagian dari rumah atau tanah (milik bersama).
3. Mauquf harus sudah dimiliki.
Artinya, pada saat mewakafkan barang itu sudah menjadi miliknya. Maka tidak sah mewakafkan suatu barang yang pada saat akad (wakaf) barang tersebut belum menjadi miliknya. Sedangkan mewakafkan barang yang di ghasab orang lain itu hukumnya sah.
4. Kepemilikan mauquf dapat dipindahkan.
Artinya, hak kepemilikan barang wakaf harus dapat dipindahkan dari wakif (yang mewakafkan) kepada mauquf alaih (orang yang menerima wakaf).
5. Mauquf harus barang yang bermanfaat.
Walaupun manfaat itu wujud pada waktu yang akan datang (mustaqbal), belum bermanfaat saat itu, misalnya anak keledai (himar) yang masih kecil. Berbeda dengan budak dan keledai yang lumpuh (cacat permanen), maka tidak sah untuk mewakafkannya dengan merusak atau
6. Manfaatnya mauquf tidak menghilangkan barang wakaf.
Pengecualian, barang bermafaat namun dengan merusak atau menghilangkannya sejak mulai memanfaatkannya, misalnya sabun atau makanan.
7. Manfaatnya mauquf hukumnya mubah.
Maka tidak sah mewakafkan alat-alat hiburan (musik) yang haram.
8. Manfaatnya mauquf sesuai dengan fungsinya.
Maka tidak sah mewakafkan dirham (mata uang) untuk hiasan.
Contoh Wakaf
Zaid berkata: “Saya mewakafkan rumah ini untuk orang-orang faqir“.
Jika wakaf arahnya umum (mauquf alaihnya umum), maka tidak ada syarat shigat penerimaan.
Dan jika wakaf pada orang tertentu maka syaratnya harus ada shigat penerimaan, misalnya wakaf pada Zaid dan anak-anaknya.
Ta’liq Wakaf
Hukum menggantungkan wakaf (pada sesuatu) hukumnya tidak sah. Misalnya, “Ketika bulan Ramadhan tiba, maka aku mewakafkan rumah ini”.
Menggantungkan wakaf hukumnya tidak sah, karena wakaf tidak dibangun atas taghlib (paksaan) dan sirayah (menular – brentek), kecuali dua masalah.
1. Apabila menggantungkan pada kematian.
Misalnya wakif berkata: “Ketika aku mati, maka rumahku aku wakafkan untuk anak-anak yatim“, maka hukum wakafnya sah.
Maka hukumnya seperti halnya wasiat, yaitu boleh ruju’ atau menarik kembali sebelum ia meninggal dan termasuk bagian dari sepertiganya harta.
2. Apabila serupa dengan memerdekakan.
Artinya menyerupai memerdekakan budak dari kepemilikan anak Adam, seperti masjid.
Misalnya wakif berkata: “Apabila bulan Ramadhan tiba, maka tanahku yang itu aku wakafkan menjadi masjid”. Maka tanah itu tidak menjadi masjid, kecuali ketika bulan Ramadhan telah tiba.
Catatan :
Contoh taghlib (sesuatu yang dibangun berdasarkan paksaan) adalah khulu’ atau tuntutan cerai dari pihak wanita dengan memberikan suatu barang. Dengan khulu’ berarti mengharuskan pada dirinya untuk memberikan suatu barang pada suami.
Contoh sirayah (sesuatu yang menular – brentek) adalah thalak dan memerdekakan.
Jika seorang suami menceraikan tangan istrinya, atau seorang majikan (sayyid) memerdekakan separo badannya budak, maka berarti menceraikan istri secara keseluruhan dan memerdekakan budak secara keseluruhan.
Wakaf Munqathi’
Wakaf munqathi’ atau wakaf yang terputus ada tiga bentuk.
1. Munqathi’ awal
Pengertian wakaf munqtiul awwal adalah terputusanya penerima wakaf yang pertama.
Misalnya wakif berkata: “Saya wakaf pada anak yang akan lahir dari anak-anakku, kemudian pada orang-orang faqir“.
Hukumnya wakaf yang munqathi’ awal adalah batal (tidak sah), karena tidak memungkinkan untuk memberikan barang wakaf saat itu juga.
2. Munqathi tsani
Pengertian wakaf munqatiul tsani adalah terputusnya penerima wakaf kedua.
Misalnya wakif berkata: “Saya wakaf pada Zaid, kemudian pada seorang laki-laki, kemudian pada orang-orang faqir“.
Hukumnya wakaf munqathi’ tsani adalah sah (shahih). Sedangkan cara mentasarufkan barang wakaf adalah sbb.
Jika tidak diketahui batas waktu (akhir) terputusnya, misalnya wakif berkata: “Saya wakaf pada Zaid, kemudian pada seorang laki-laki, kemudian pada orang- orang faqir“, maka barang wakaf diberikan pada Zaid, kemudian kepada orang-orang faqir.
Jika diketahui batas waktu (akhir) terputusnya, misalnya wakif berkata: “Saya wakaf pada Zaid, kemudian pada hewan ternak ini, kemudian pada orang-orang faqir“.
Maka benda wakaf diberikan pada Zaid, kemudian jika Zaid meninggal maka benda wakaf beralih pada kerabat yang paling dekat dengan wakif (yang mewakafkan) selama hewan ternak masih hidup, setelah hewan ternak mati kemudian benda wakaf beralih pada orang-orang faqir.
3. Munqathi’ akhir
Pengertianw wakaf munqothi akhir adalah terputusnya penerima wakaf yang terakhir.
Misalnya wakif berkata: “Saya wakaf pada Zaid, kemudian pada keturunannya“, wakif tidak menambahkan siapapun, atau wakif menambahkan: “kemudian pada seorang laki- laki“.
Hukum barang wakaf diberikan pada Zaid dan anak-anaknya, kemudian jika mereka semua telah meninggal maka beralih pada kerabat yang paling dekat dengan wakif (yang mewakafkan).
Wakif Memberikan Syarat
Wakif (yang mewakafkan) boleh menetapkan syarat dalam wakaf, dan wajib memenuhi syarat itu jika tidak bertentangan dengan syari’at.
Misalnya, Barang wakaf harus dibagi rata antara orang-orang yang menerima wakaf, atau mendahulukan sebagian dan tidak pada yang lain, atau sebaliknya, misalnya pembagian tidak sama atau mengakhirkan sebagian dari penerima wakaf.
Apabila wakif tidak mensyaratkan mengakhirkan sebagian dari mauquf alaih, maka boleh mengakhirkan sebagian (dan boleh tidak).
Nazhir Wakaf
Nazhir wakaf adalah orang yang menjaga, memelihara, mengelola dan mengawasi aset wakaf. Wakaf membutuhkan nadzir yang bertugas membangun, menyewakan dan membuatnya menjadi maslahah (bermanfaat).
Orang yang menjadi nadzir (pengawas/pengelola) boleh wakif sendiri, atau mengangkat laki-laki terpercaya. Jika tidak ada nazhir, maka hakim (penguasa) dapat melakukan pengawasan sendiri atau menugaskan siapapun atas namanya.
Syarat dan Tugas Nadzir
Syarat nazhir ada 2:
- Adil.
- Mampu menasarufkan (mengelola) sesuai dengan tujuan.
Tugas nazhir adalah mengembangkan harta wakaf dan menyewakannya, menjaga aset zakat (mauquf), menjaga hasil harta wakaf, seperti ongkos sewa atas penggunaan darinya, mengumpulkan hasil dan membaginya kepada orang-orang yang berhak.
Memecat Nazhir
Wakif (yang mewakafkan) tidak berhak untuk memecat nazhir yang ditentukan ketika wakaf. Apabila nazhir hilang kemampuannya (tidak mampu lagi mengelola wakaf), maka keputusannya dikembalikan kepada hakim. Sebagaimana jika nazhir mengundurkan diri dari pengelolaan wakaf, maka yang berhak menggantinya adalah hakim.
Upahnya Nazhir
Nazhir berhak menerima upah sesuai perjanjiannya, walaupun jumlahnya melebihi upah standart (pada umumnya). Kecuali jika nazhir adalah wakif itu sendiri, maka upahnya tidak boleh melebihi upah pada umumnya.
Nafkah Dan Biaya Perawatan Mauquf
Nafkahnya mauquf (barang wakaf) dan biaya perawatannya harus sesuai dengan syarat wakif (yang mewakafkan). (Biaya adakalanya dari wakif, dari harta wakaf atau dari hasilnya harta zakat, jika tidak ada maka biayanya dari baitul mal).
Wakaf Adalah Aqad Yang Lazim
Wakaf adalah suatu aqad yang lazim (tetap), wakif tidak boleh menarik kembali (ruju’) setelah aqad.
Tidak boleh menjual dan menghibahkan barang wakaf walaupun barangnya telah rusak. Begitu juga tidak boleh merubah bentuknya barang wakaf, misalnya kebun wakaf menjadi rumah.
Apabila mauquf (barang wakafan) rusak, misalnya permadani atau sajadah masjid, maka boleh untuk menjualnya karena untuk kemaslahatan.
Demikian artikel pengertian wakaf dan contohnya serta rukun nya.