Pengertian gadai secara lughot (bahasa) artinya tetap. Pengertian gadai atau Rahn secara istilah (syara’) adalah akad untuk menjadikan harta benda sebagai jaminan hutang yang digunakan untuk melunasi hutang tersebut ketika tidak mampu melunasinya.
Penjelasan Pengertian Gadai
Menjadikan harta : Barang gadai harus berupa benda. Oleh sebab itu, sesuatu yang dalam tanggungan tidak boleh menggadaikan nya.
Harta benda : Benda gadai harus berupa harta. Maka tidak sah menggadaikan benda yang bukan termasuk harta, seperti anjing yang terlatih, pupuk dari kotoran hewan, kulit dari bangkai.
Benda-benda itu harus benda khusus atau pribadi tidak termasuk “mal” atau harta. Selain itu, benda gadai harus mutamawwal atau bernilai harta (ada nilainya), maka tidak sah menggadaikan benda yang tidak ada nilainya, misalnya dua biji gandum.
Sebagai jaminan : Artinya menjadikan harta benda sebagai jaminan agar orang yang menerima gadai percaya.
Akad rahn adalah salah satu dari tiga akad yang dilakukan berdasarkan pada kepercayaan, yaitu : syahadah (kesaksian-pengakuan), rahn (gadai) dan dloman (tanggungan- jaminan).
Jaminan hutang Dikecualikan jaminan untuk sebuah benda / barang. Maka tidak sah menggadaikan harta benda sebagai jaminan untuk sebuah benda.
Untuk melunasi hutang : Artinya, apabila orang yang menggadaikan tidak mampu membayar hutangnya, maka penerima gadai bisa menagih dan melunasi hutang tersebut dari nilai benda gadai.
Terkecuali “harta benda waqafan”, maka tidak sah menggadaikan harta benda tersebut, karena murtahin (penerima gadai) tidak dapat menagih pelunasan hutang dengan menjual harta waqafan, karena tidak boleh menjual harta benda waqafan.
Ketika tidak mampu melunasinya : Ketika hutang sudah jatuh tempo dan orang yang menggadaikan tidak mampu melunasi hutangnya, maka boleh menjual jaminan tersebut untuk melunasi hutang tersebut.
Dalil akad Gadai
Dasar hukumnya akad gadai adalah firman Allah dalam surat Al-Baqoroh ayat 283.
Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).
Makna ayat menurut Al-Qodli Husein adalah : lakukanlah akad gadai dan terimalah.
Dan juga Hadits Nabi SAW.
Ketika Rosululloh SAW wafat baju besi-Nya sedang menggadaikan ditempat orang Yahudi dengan pinjaman 30 sho’ gandum.
Rukun Gadai
Rukun-rukunnya akad gadai ada lima.
1. Rohin (orang yang menggadaikan).
2. Murtahin (orang yang menerima gadai atau orang yang berpiutang dengan jaminan).
3. Marhun (barang gadai – barang jaminan hutang).
4. Marhun bih (hutang).
5. Shigat (ijab dan qabul).
Contoh akad Gadai
Misalnya umar hutang pada zaid 1.000 dinar, kemudian umar berkata kepada Zaid: “Saya gadaikan rumah saya kepadamu dengan 1.000 dinar yang menjadi tanggunganku“. Kemudian Zaid berkata: “Saya terima“.
Syarat marhun bih atau utang
Syarat marhun bih atau hutang ada empat.
1. Marhun bih harus berupa hutang.
2. Marhun bih harus sudah tetap. Maka tidak sah menggadaikan barang dengan sesuatu yang akan jadi hutang, karena hutang saat itu belum wujud atau belum tetap. Begitu juga menggadaikan barang dengan nafaqohnya istri yang akan wajib pada hari esok hari.
3. Marhun bin tidak bisa gugur (sudah tetap).
Maka terkecualikan upah atau ongkosnya akad “ju’alah” (imbalan tertentu atas pekerjaan tertentu). Misalnya seseorang berkata pada yang lain : Jika kamu dapat mengembalikan kendaraanku, maka kamu berhak mendapat 1.000 dinar.
Dalam shigat tersebut terdapat “hutang” namun tidak tetap, karena dapat gugur, yaitu jika tidak mampu mengembalikan kendaraan, maka hutang gugur (tidak berhak menerima upah). Jika hutang belum tetap, tapi dipastikan akan tetap maka boleh menggadaikannya.
Seperti menggadaikan “tsaman” atau harga dalam masa khiyar, misalnya ia membeli sebuah barang dan mensyaratkan khiyar selama tiga hari, kemudian mengadakan akad gadai, maka hukumnya sah.
4. Marhun bih (hutang) harus diketahui oleh dua orang yang bertransaksi.
Maka akad rahn terhadap marhun bih (hutang) yang tidak diketahui oleh keduanya atau salah satunya hukumnya tidak sah.
Syarat marhun atau barang gadai
Syaratnya marhun atau barang gadai adalah barang boleh untuk dijual. Yaitu barang yang telah menetapi syarat barang yang di jual yang jumlahnya ada lima.
Baca juga; rukun jual beli dalam islam
Maka tidak sah menggadaikan budak mukatab, barang waqaf dan budak ummul walad, karena tidak sah menjual barang tersebut.
Setiap barang yang boleh dijual, maka boleh menggadaikan atau menjadikannya sebagai barang jaminan hutang.
Dan setiap barang yang tidak boleh dijual, maka tidak boleh menggadaikannya. Namun ada beberapa masalah yang terkecualikan dari ketentuan itu, baik secara mafhum (pemahaman) atau secara manthuq (teks / yang tertulis).
Yang terkecualikan secara mafhum : Benda yang tidak sah dijual namun sah untuk menggadaikan nya, seperti budak wanita dan anaknya. Tidak boleh memisahkan mereka dengan cara menjual salah satunya. Sedangkan memisahkan mereka dengan cara menggadaikan salah satunya hukumnya boleh.
Yang terkecualikan secara manthuq : Benda yang sah untuk dijual dan tidak sah untuk menggadaikan adalah ;
1. Sebagian manfaat atau jasa.
boleh menjual manfaat atau jasa, namun tidak boleh menggadaikannya. Misalnya menjual hak jalan (tempat berjalan) atau hak meletakkan kayu diatas tembok atau dinding.
2. Hutang.
Boleh menjual hutang pada orang yang berhutang, namun tidak boleh menggadaikan hutang padanya. Karena barang yang dalam tanggungan termasuk barang tidak dikuasai (untuk diserah terimakan).
3. Mudabbar.
Yaitu budak yang akan merdeka setelah tuan-nya meninggal dunia. Boleh menjual budak mudabbar, namun tidak boleh menggadaikannya. Karena rawan terjadi penipuan atau kerugian, kerugian, yaitu dengan meninggalnya tuan dari mudabbar.
4. Budak yang merdeka-nya digantungkan pada satu sifat yang mungkin sifat itu lebih dahulu ada sebelum jatuh temponya hutang. Boleh menjual budak tersebut, namun tidak boleh menggadaikannya.
5. Tanah yang diolah (ditanami).
Boleh menjual tanah yang diolah tersebut jika pembeli dapat melihat tanah tersebut dari sela-sela tanaman, namun tidak boleh menggadaikan tanah tersebut. Karena terkadang utang sudah jatuh tempo sebelum tanah kosong dari tanaman, dan hal itu dapat menimbulkan persengketaan.
Tetapnya akad Gadai
Rahn atau gadai belum tetap (belum terjadi) kecuali murtahin sudah menerimanya.
Soal: Kapankah penerimaan dari pihak penerima gadai (murtahin) sudah dianggap cukup..?
Jawab: Penerimaan murtahin sudah cukup jika sudah mendapat izin dari orang yang menggadaikan, atau sudah diserahkan darinya. Jika murtahin mengambil sendiri terhadap marhun (barang gadai) tanpa mendapat izin dari orang yang menggadaikan, maka hal itu belum cukup sebagai bentuk dari penerimaan.
Boleh membatalkan akad gadai sebelum murtahin menerima barang gadai, dengan cara mentasarufkan yang menghilangkan kepemilikan barang tersebut, misalnya dengan cara menjual, menghibahkan atau menggadaikan pada pihak lain.
Kaidah Menambah Gadai Dan Hutang
Ibnu al-Wardi berkata : Boleh menambahkan gadai diatas gadai dengan hutang, tidak boleh menambahkan hutang diatas hutang dengan satu jaminan. Artinya, jika seseorang mempunyai satu hutang dengan satu jaminan, kemudian menambahkan jaminan pada gadai yang pertama, maka hal itu boleh, karena hal itu termasuk menambahkan watsiqoh (jaminan hutang).
Sedangkan menambah hutang atas hutang sebelumnya yang diakadi `rahn hukumnya tidak boleh, kecuali jika rahn yang pertama dibatalkan terlebih dahulu. Orang yang menggadaikan dan berstatus pemilik dari barang gadai boleh untuk memanfaatkan barang gadai selama tidak mengurangi terhadap benda gadai, misalnya menaiki atau menempati barang gadai, tidak boleh membangun atau menanami barang gadai.
Berbagai masalah dalam akad gadai
1. Hukumnya barang gadai dan rusak dalam kuasa orang yang menerima gadai.
✓ Apabila tidak karena kecerobohan murtahin, maka murtahin tidak menanggungnya (tidak wajib menggantinya), karena akad rahn atau menguasakan jaminan pada pihak yang menerima gadai berdasarkan kepercayaan.
Dan jika karena kecerobohan murtahin, maka murtahin harus menggantinya sesuai harga yang berlaku ketika kerusakan terjadi. Begitu juga termasuk ceroboh (wajib mengganti), jika murtahin menolak menyerahkan barang gadai setelah lunasnya hutang dan pihak yang menggadaikan sudah meminta untuk dikembalikan. Pengarang kitab “Shofwatuz Zubad” berkata. Dan sesungguhnya murtahin (orang yang menerima gadai) wajib mengganti (barang gadai) jika dia ceroboh dalam menjaga barang yang di percayakan padanya.
Pengakuan murtahin (orang yang menerima gadai) dan musta’jir (orang yang menyewa) atas rusaknya barang gadai atau yang disewa dibenarkan, sebagaimana akad-akad lain yang berdasar pada kepercayaan.
2. Hukum: Apabila murtahin (orang yang menerima gadai) mengaku sudah mengembalikan barang gadai, maka pengakuannya tidak dapat dibenarkan, kecuali jika terdapat bayyinah (bukti).
Kaidah: Setiap orang yang menerima amanah (kepercayaan), jika mengaku telah mengembalikan apa yang di amanahkan padanya, maka pengakuannya dibenarkan dengan disertai sumpah, kecuali: murtahin (orang yang menerima gadai) dan musta’jir (orang yang menyewa), pengakuan keduanya tidak diterima kecuali ada bukti. Karena keduanya mengambil harta untuk tujuan dan kepentingan pribadinya.
3. akad gadai, setelah barang gadai diserah terimakan maka status rahn dari pihak orang yang menggadaikan sifatnya sudah tetap, dan dari pihak orang yang menerima gadai (murtahin) sifatnya ja’iz, boleh atau tidak tetap.
4. Masalah Apabila seseorang menggadaikan barang, lalu memberikan izin untuk menggunakan barang tersebut setelah masa satu bulan, maka sebelum masa satu bulan status barang tersebut adalah amanah dengan hukum rahn (barang gadai). Dan setelah masa satu bulan status barang tersebut adalah ‘ariyah (pinjaman) yang dijamin ditanggung sebagaimana hukumnya barang pinjaman.
5. Nafaqoh atau biayanya barang gadai adalah tanggung jawabnya rohin (orang yang menggadaikan), karena ia pemiliknya. Apabila murtahin mengeluarkan biaya untuk nafaqohnya barang yang di gadaikan atas izin dari rohin, maka murtahin berhak meminta ganti rugi pada rohin. Namun jika tidak mendapat izin dari rohin, maka murtahin tidak berhak meminta ganti rugi.
6. Terlepasnya akad gadai (rahn) karena tiga sebab.
1. Pembebasan hutang dikembalikan
Artinya, akad gadai menjadi terlepas dan barang gadai kepada pihak yang menggadaikan karena murtahin atau orang yang menerima akad gadai telah membebaskan seluruh hutangnya pihak yang menggadaikan.
2. Rusaknya akad gadai
Yaitu karena murtahin membatalkan atau merusak akad gadai. Akad gadai tidak menjadi batal karena sebab mati, gila atau terkena ayan (epilepsi).
3. Lunasnya hutang.
Apabila seluruh hutang dari rahin (orang yang menggadaikan) sudah lunas, maka akad gadai sudah lepas atau selesai. Oleh sebab marhun (barang gadai) harus dikembalikan kepada pihak yang menggadaikan. Berbeda jika hutang belum lunas, walaupun yang tersisa dari hutang tinggal sedikit, maka akad gadai belum dianggap selesai.
7. Hukumnya barang gadai ketika hutang sudah jatuh tempo, dan hutang belum dilunasi, maka murtahin (orang yang menerima gadai) boleh memilih diantara dua hal.
Meminta rahin agar menjual barang gadai, kemudian melunasi hutang dari hasil penjualan tersebut.
Meminta agar rahin melunasi hutang.