Pengertian Fasakh Nikah dan Penyebabnya

Diposting pada

Pengertian Fasakh Nikah dan Penyebabnya – Dalam mengarungi bahtera rumah tangga, tidak jarang sepasang manusia harus menghadapi cobaan yang sangat-sangat berat. Salah satu mimpi buruk dalam rumah tangga adalah terjadinya perpisahan.

Dalam Islam, perpisahan atau furqoh dapat terbagi menjadi tiga alasan. Yaitu karena kematian, Fasakh dan perceraian. Insya Allah pada artikel kali ini kita sama-sama akan mengupas tentang pengertian fasakh nikah dan penyebabnya.

Pengertian Fasakh Nikah

Fasakh menurut bahasa adalah pembatalan, pemisahan, penghilangan, penghentian, atau penghapusan.
Pengertian fasakh nikah menurut istilah adalah batalnya perkawinan karena sebab-sebab yang tidak memungkinkan berlanjutnya perkawinan (setelah akad), atau ada sebab-sebab yang menghalangi tercapainya tujuan pernikahan.

Sebab fasakh nikah yang memerlukan peninjauan dan pertimbangan hakim akan diputuskan oleh hakim berdasarkan pengajuan suami, istri, wakil atau beberapa pihak yang berwenang.

Sedangkan untuk Faskh yang disebabkan tidak terpenuhinya syarat pernikahan dapat diputuskan tanpa melalui putusan hakim.

baca juga: rukun nikah

Dengan demikian, istri memiliki hak yang sama dengan suami untuk membatalkan pernikahan dengan alasan yang benar menurut syariat.

Penetapan hak fasakh bagi suami atau istri karena cacat atau sakit berdasarkan hadits riwayat Al-Baihaqi dari Ibnu ‘Umar bin Al-Khathab.

Dikisahkan bahwa suatu ketika Nabi SAW menikahi seorang wanita dari Bani Ghifar.
Ketika wanita itu masuk ke kamar, Rasulullah melihat pada bagian lambung nya berwarna putih, Rasulullah berkata kepadanya, ‘Pakailah pakaianmu dan kembalilah ke keluargamu.
Lalu dia berkata kepada keluarganya, ‘Kalian sembunyikan kekurangannya dariku!’ (HR. Al-Baihaqi dan Abu Ya’la).

Sa’id bin Al-Musayyib meriwayatkan:
“Apabila seorang laki-laki menikahi seorang perempuan, dan laki-laki itu mengalami gangguan jiwa atau menderita suatu penyakit yang berbahaya, maka perempuan tersebut mendapatkan pilihan (khiyar). Jika ia mau, ia dapat melanjutkan perkawinannya. Jika tidak, ia boleh bercerai” (HR Malik).

Penyebab Fasakh Dalam Pernikahan

Berdasarkan sejumlah hadits, para ulama menyimpulkan bahwa pasangan yang menderita judzam (lepra atau kusta), barash (balak), junun (ODGJ), atau penyakit lain yang menular dan tergolong berbahaya, berhak mengajukan permohona fasakh.

Demikian pula suami yang memiliki cacat jubb (kelamin terputus) atau ‘unnah (lemah syahwat); atau istri yang cacat rataq (alat kelamin wanita tertutup daging), qaran (alat kelamin wanita tertutup tulang).

Dalam hal ini, Syekh Mushthafa Al-Khin merinci jenis-jenis cacat atau penyakit yang memungkinkan terjadinya Fasakh nikah.

Menurutnya, secara umum, ada dua jenis cacat atau penyakit yang dibolehkan Fasakh: (1) cacat atau penyakit yang menghalangi hubungan seksual, seperti jubb atau ‘unnah untuk suami dan qaran atau rataq untuk istri; (2) Cacat atau penyakit yang tidak menghalangi persetubuhan, tetapi berbahaya, seperti judzam, barash, atau gangguan jiwa.

Sedangkan dari segi penderitanya, kecacatan atau penyakit yang memungkinkan Fasakh nikah terbagi menjadi tiga:

(1) kecacatan atau penyakit yang mungkin dialami oleh suami istri, seperti penyakit jadzam, barash, dan gangguan jiwa;

(2) kecacatan atau penyakit yang hanya diderita oleh istri yaitu rataq dan qaran;

(3) Cacat atau penyakit yang hanya diderita oleh suami yaitu jubb dan ‘unnah.

Terkecuali penyakit ringan seperti istihadhah, bau mulut, bau tidak sedap, bau ketiak, penyakit bernanah, lubang kemaluan sempit, dan sebagainya. Semua penyakit tersebut tidak membawa hak suami atau istri untuk Fasakh.

Perbedaan Fasakh dan Talaq

Dalam kitab Ianatut Thalibin Juz 3 Hal 336, Abu Bakr Satha menjelaskan empat perbedaan fasakh nikah dengan talaq.

1. Fasakh tidak mengurangi “jatah” jumlah thalaq. Andai kata mengajukan fasakh satu kali lalu akad nikah lagi, kemudian fasakh lagi lalu akad nikah lagi dan seterusnya, maka ia tidak akan mendapati haram kubra. Berbeda jika sang suami menthalaq istrinya sampai tiga kali, maka baginya akan mendapati haram kubra dan wanita tersebut tidak halal kecuali harus melewati perantaraan muhallil.”

2. Fasakh yang dilakukan sebelum hubungan badan tidak berdampak apapun terhadap mahar. Berbeda dengan thalaq yang berakibat hukum separuh mahar.

3. Fasakh yang dilakukan setelah hubungan badan karena adanya aib akan berdampak kewajiban mahar mitsli. Berbeda dengan thalaq yang berakibat mahar musamma.

4. Fasakh yang dilakukan bersamaan dengan akad maka tidak ada hak nafkah untuk pihak wanita meskipun wanita tsb sedang hamil. Berbeda dengan thalaq yang mewajibkan nafkah. Adapun hak tempat tinggal, maka wanita berhak atasnya, baik itu karena fasakh atau thalaq ketika dilakukan setelah terjadinya hubungan badan.

Referensi: Fathul Mu’in, halaman 106.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *