Pengertian ariyah secara bahasa (lughat) adalah nama benda yang dipinjam dan nama akad ariyah. Sedangkan pengertian ariyah secara istilah (syara’) adalah izin memanfaatkan barang yang halal dimanfaatkan tanpa mengurangi barangnya dengan menggunakan shigat.
Penjelasan pengertian ariyah
Izin memanfaatkan Artinya, bukan memberikan hak milik. Musta’ir atau orang yang meminjam tidak memiliki barang pinjaman dan tidak memiliki manfaatnya barang tersebut. Berbeda dengan jual beli dan akad sewa untuk selamanya. Baca juga: rukun jual beli dalam islam
Barang yang halal di manfaatkan: Terkecuali meminjamkan barang haram, seperti alat-alat hiburan dan seruling (alat musik tiup), maka hukumnya tidak halal, karena meminjamkan barang-barang tersebut berarti membantu terjadinya kemaksiatan.
Tanpa mengurangi barangnya : Sedangkan barang yang rusak (berkurang atau habis) jika di manfaatkan, maka tidak sah meminjamkan barang-barang tersebut, misalnya sabun dan lilin.
Dengan menggunakan shigat: Artinya, dalam melakukan akad ariyah harus ada ijab dan qabul.
Dalil Ariyah
Dasar hukumnya akad ariyah adalah firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 2, dan Al-Ma’un ayat 7.
وتعاونوا على البر والتقوى
Artinya: Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa.
ويمنعون الماعون
Artinya: Dan enggan (menolong dengan) barang berguna.
Dalam Hadits, sesungguhnya Nabi SAW meminjam kuda dari Abu Thalhah kemudian Beliau menaikinya, dan Beliau meminjam baju besi dari Shafwan bin Umayyah pada saat perang Hunain. Kemudian dia berkata: Apakah engkau mengambilnya begitu saja wahai Muhammad?. Lalu Beliau SAW bersabda : Tidak, melainkan ini menjadi pinjaman yang dijamin (kembali).
Rukun Ariyah
Rukun akad ariyah (pinjam meminjam) ada empat.
- Mu’ir atau orang yang meminjamkan.
- Musta’ir atau orang yang meminjam.
- Mu’ar atau barang yang dipinjamkan.
- Shigat atau ijab dan qabul.
Contoh Ariyah
Zaid berkata kepada Umar : “Saya pinjamkan pakaian ini kepadamu agar kamu memakainya“. Kemudian Umar berkata, “saya terima“, atau Umar menerima baju itu tanpa mengucapkan “saya terima“.
Dalam ariyah harus ada shigat atau ijab dan qabul. Artinya, salah satu dari orang yang meminjam atau yang meminjamkan harus melafadzkan “pinjam atau meminjam” dan tidak ada penolakan dari salahsatu pihak. Tidak harus keduanya mengucapkan ijab dan qabul.
Hukum Ariyah
Hukumnya ariyah (pinjam meminjam) ada lima.
- Wajib
- Sunnah
- Mubah
- Makruh
- Haram
1. Wajib. Sebagaimana meminjamkan pisau untuk menyembelih hewan yang akan mati, dan meminjamkan senjata untuk memerangi orang kafir yang menyerang.
2. Sunnah. Hukum sunnah merupakan hukum asal dalam ariyah, karena ariyah termasuk bagian dari menolong orang muslim.
Dalam hadits disebutkan :
والله في عون العبد ما كان العبد في عون أخيه
Artinya: Allah senantiasa menolong seorang hamba selama hamba tersebut mau menolong saudaranya.
من كان في حاجة أخيه كان الله في حاجته
Artinya: Barang siapa menunaikan hajat saudaranya, maka Allah akan menunaikan hajatnya.
3. Mubah. Seperti meminjamkan sesuatu pada orang kaya (orang yang tidak memerlukan). Atau seperti meminjam pakaian bagi orang yang tidak memerlukannya.
4. Makruh. Seperti meminjamkan budak muslim kepada orang kafir, karena hal itu termasuk penghinaan. Begitu juga makruh, meminjamkan orang tua yang berstatus budak kepada anaknya yang berstatus merdeka.
5. Haram, namun hukumnya sah. Seperti meminjamkan senjata kepada perampok jalanan. Haram, dan hukumnya tidak sah. Seperti meminjamkan alat-alat hiburan haram, semisal suling.
Syarat Mu’ar (Barang Pinjaman)
Syaratnya mu’ar (barang pinjaman) adalah bermanfaat (walaupun pada masa yang akan datang) serta tidak mengurangi barang pinjaman itu.
Sedangkan barang yang rusak atau berkurang jika dimanfaatkan, maka tidak sah meminjamkannya, misalnya sabun. Manfaat yang terdapat dalam mu’ar harus berupa atsar (terasa tanpa terlihat – kebalikan manfaat yang berupa ‘ain).
Misalnya meminjamkan kitab, kendaraan, rumah untuk bertempat tinggal, pakaian. Oleh sebab itu, jika manfaatnya barang pinjaman berupa ‘ain (wujud), maka tidak sah akad ariyah pada barang tersebut.
Misalnya meminjam tumbuhan untuk dipetik buah nya, meminjam sapi untuk diperah susu nya.
❖ Masalah:
Bagaimana jalan keluar yang benar menurut syari’at untuk masalah di atas.? Orang yang meminjamkan (pemilik pohon kambing) berkata : “Saya pinjamkan pohon ini dan saya pemilik halalkan buahnya untukmu”. Atau ia berkata : “Saya pinjamkan kambing ini dan saya halalkan susunya untukmu”.
Syarat Al-Mu’ir Mu’ir adalah orang yang meminjamkan (pemilik barang). Syaratnya mu’ir adalah orang yang sah tabarru’nya, sekaligus mu’ir adalah orang yang memiliki manfaatnya barang yang dipinjamkan.
Oleh sebab itu, orang yang tidak ahli tabarru’, misalnya anak kecil atau orang gila, maka akad ‘ariyahnya tidak sah.
Ariyah merupakan tabarru’ (berderma-berbuat baik) terhadap manfaatnya (jasa) barang. Orang yang meminjamkan harus memiliki hak atas manfaatnya barang, tidak harus memiliki ‘ain atau dzatnya barang.
Jika tidak memiliki manfaatnya barang, maka tidak boleh meminjamkannya. Oleh sebab itu, orang yang meminjam (peminjam) tidak boleh meminjamkan barang yang dipinjam pada orang lain tanpa izin dari pemilik barang. Sedangkan orang yang menyewa barang boleh meminjamkan pada orang lain, karena ia memiliki hak atas manfaatnya barang.
Hukum Akad Ariyah
Ariyah merupakan akad yang jaiz (tidak tetap) dari kedua pihak (peminjam dan yang meminjamkan). Maka orang yang meminjamkan (mu’ir) dan orang yang meminjam (musta’ir) boleh untuk “rujuk” kapanpun ia mau.
Artinya, kapanpun mu’ir boleh meminta kembali barang ia pinjamkan, dan musta’ir boleh mengembalikan barang yang ia pinjam. Baik ariyah yang mutlak (tidak ada batas waktu) ataupun ariyah dengan batas waktu.
Kecuali dalam “beberapa masalah”, mu’ir tidak boleh sewaktu-waktu meminta barang yang ia pinjamkan.
1. Meminjamkan sutrah untuk shalat. Setelah musta’ir (yang meminjam) takbirotul ihram, maka mu’ir tidak boleh meminta mengambil sutrah yang ia pinjamkan sampai shalat selesai.
2. Meminjamkan lahan (tanah) untuk ditanami. Sebelum waktunya layak untuk panen, mu’ir tidak boleh meminta lahan yang ia pinjamkan.
3. Meminjamkan kafan untuk mayit. Mu’ir tidak boleh meminta kembali kafan ia pinjamkan, karena khawatir menghinakan terhadap jenazah.
4. Meminjamkan lahan untuk memakamkan jenazahnya orang yang mulia (muslim). Sebelum jenazah hancur, pemilik lahan tidak boleh meminta kembali lahan tsb.
5. Meminjamkan perahu untuk mengangkut hartanya orang yang ma’shum. Mu’ir tidak boleh meminta kembali perahu agar kembali dari tengah lautan.
Waktu Pinjaman Sudah Habis
Apabila batas waktu pinjaman sudah habis, maka orang yang meminjam (musta’ir) tidak boleh menggunakan barang pinjaman tersebut. Dan sebelum musta’ir mengembalikan, maka status barang pinjaman tersebut merupakan amanah bagi nya.
Amanah adalah jika terjadi kerusakan yang tidak disengaja dan tidak karena ceroboh, maka tidak ada kewajiban untuk menggantinya.
Batas waktu pinjaman adalah sesuai dengan batas yang di izinkan oleh pemilik barang (mu’ir), atau ketika di kembalikan, atau ketika mu’ir telah mengambilnya kembali.
Tanggung Jawab Dalam Ariyah
Orang yang meminjam (musta’ir) wajib bertanggung jawab terhadap barang yang ia pinjam, baik terdapat unsur kelalaian ataupun tidak, selain penggunaan yang diizinkan. Artinya, jika musta’ir menggunakan barang tersebut sesuai dengan izin mu’ir, maka jika terjadi kerusakan ia tidak wajib mengganti.
Sebab izin pemilik kepada peminjam untuk menggunakan barangnya berarti juga mengizinkan terjadinya kerusakan akibat pemakaian yang wajar terhadap barang tersebut.
Dan jika peminjam menggunakan barang tersebut pada selain yang di izinkan pemilik, maka musta’ir wajib bertanggung jawab (mengganti), baik kerusakan tersebut karena sengaja atau tidak sengaja.
Musta’ir juga bertanggung jawab terhadap tambahan yang melekat ketika barang masih dalam pinjaman, misalnya hewan yang ia pinjam semakin gemuk. Sedangkan tambahan yang tidak melekat, musta’ir tidak wajib bertanggung jawab, misalnya hewan yang ia pinjam melahirkan anak atau susu.
Musta’ir wajib mengganti barang yang ia pinjam sesuai dengan harga saat terjadinya kerusakan, bukan harga saat waktu meminjam. Kecuali jika ariyah tidak dalam dhaman (tanggungan), maka musta’ir tidak wajib bertanggung jawab (mengganti). Misalnya musta’ir meminjam barang dari orang yang menyewa (barang yang ia pinjam merupakan barang yang di sewa oleh mu’ir).
Contoh ariyah yang tidak dalam tanggungan
Dan Umar menyewa kendaraan tersebut dari Bakar. Lalu, kendaraan tersebut dipinjam oleh zaid. Jika kendaraan tersebut rusak bukan karena kecerobohan, maka Zaid tidak wajib bertanggung jawab atas kerusakan tersebut.
Begitu juga Umar sebagai orang yang menyewa kendaraan juga tidak wajib bertanggung jawab, karena kekuasaan Umar atas barang yang ia sewa merupakan yad amanah (statusnya hanya sebagai pemegang amanah dari pihak lain, jika terjadi kerusakan yang bukan karena kecerobohannya maka tidak wajib mengganti).
Biaya Pengembalian Ariyah
Apabila mengembalikan barang yang dipinjam terdapat biaya, maka yang menanggung biaya pengembalian adalah pihak orang yang meminjam, karena musta’ir menerima ariyah untuk kebaikan dirinya sendiri.
Meminjamkan Barang Pinjaman
Musta’ir atau orang yang meminjam tidak boleh meminjamkan barang yang ia pinjam pada orang lain. Karena ia tidak memiliki ‘ain atau materinya barang pinjaman dan tidak pula memiliki manfaat (jasa) nya barang.
Apabila musta’ir meminjamkan barang yang ia pinjam, maka ia telah berdosa. Dan jika terjadi kerusakan, maka mu’ir (orang yang meminjamkan) boleh menuntut ganti rugi pada salah satu dari dua orang peminjam (peminjam pertama dan peminjam kedua). Namun tetapnya dhaman (tanggung jawab) terletak pada orang yang menguasai saat barang itu rusak.
Apabila pemilik barang dan orang yang menggunakan barang berbeda pendapat, orang yang menggunakan barang berkata: “kamu meminjamkannya padaku“, sedangkan pemilik barang berkata: “tidak, tetapi saya menyewakannya padamu dengan ongkos sekian“, maka yang di benarkan adalah perkataannya orang yang menggunakan barang dan harus sumpah, dengan ketentuan, barang (yang disengketakan) masih ada, dan belum melewati masa yang layak untuk membayar ongkos.
Jika barang masih ada, dan sudah melawati masa yang layak untuk membayar ongkos, maka yang dibenarkan adalah perkataan pemilik barang dengan sumpah nya. Dan ia berhak mendapat ongkos atas penggunaan barang tersebut.
Demikian pengertian ariyah dan rukun serta contohnya, semoga bermanfaat. Apabila anda merasa artikel tentang pengertian ariyah ini sangat bagus, silahkan share kepada teman-teman anda.