Menurut mazhab Syafi’i, setiap orang, baik imam atau makmum, sholat sendiri maupun berjamaah, wajib membaca surat al-Fatihah pada setiap rakaat. Karena merupakan salah satu rukun sholat. Ada aturan yang harus terpenuhi dalam membaca Al-fatihah. Yang salah satunya adalah dapat terdengar oleh diri sendiri.
Mungkin sebagian orang pernah mengalami tidak konsentrasi penuh saat menjadi makmum. Ketika imam telah sujud, makmum baru saja terbangun dari lamunannya, dan masih berdiri.
Saat hendak mengikuti rukuk, ia ragu apakah ia benar-benar sudah membaca surat al-Fatihah atau belum. Maka apa yang harus dilakukan oleh seorang makmum? apakah ia harus rukuk tanpa membaca Al-fatihah?
Pertanyaan tersebut bisa kita temukan jawaban nya dalam kitab Nihayatuz Zain karya Syech Nawawi Al-Bantani (Banten). Beliau berkata:
Artinya: “Barangsiapa yang ragu-ragu padahal belum ruku’, padahal imam sudah ruku’, apakah masih wajib membaca al-Fatihah atau tidak? (Jawabannya), maka ia harus menahan shalatnya terlebih dahulu (berdiri), dia ditoleransi hingga tiga pilar dari panjang imam” (Syaikh Nawawi al-Bantani, Nihayatuz Zain, [Beirut: Darul Fikr], hal. 125).
Pernyataan Syekh Nawawi di atas menunjukkan bahwa jemaah yang ragu-ragu telah membaca al-Fatihah atau belum, dianggap belum membaca al-Fatihah.
Dalam hal keraguan, fiqh selalu mengambil titik teraman. Jika Anda memiliki pertanyaan, apakah Anda sudah membaca al-Fatihah atau belum? Secara hukum fiqh formal pasti akan menjawab “belum”.
Ibarat orang yang jelas-jelas berwudhu, kemudian ragu apakah batal atau belum, maka jawabannya belum batal.
Contoh lain, jika seseorang jelas-jelas membatalkan wudhunya, kemudian dia ragu apakah dia telah berwudhu atau belum, jawabannya adalah dia belum berwudhu.
Jadi bila ada keraguan antara “sudah” atau “belum” membaca al-Fatihah, maka pemenangnya adalah “belum”.
Pijakan ini sesuai dengan aturan:
Artinya: “Pada dasarnya sesuatu itu masih dalam keadaan semula” (Jalaludin As-Suyuthi, Al-Asybah wan Nadzair, [DKI: 1990], hlm. 51).
Aturan baku sebelumnya adalah haramnya seorang makmum mendahului dan tertinggal dari gerak imam sebanyak dua rukun secara berurutan.
Namun karena masalah keragu-raguan seperti di atas, maka makmumnya tertinggal tiga tiang panjang berturut-turut.
Menurut sebagian ulama, dalam shalat ada penggolongan tiang pendek dan tiang panjang.
Rukun yang panjang menjadi sasaran utama dari rukun shalat, sedangkan rukun yang pendek menjadi pemisah antara tiang panjang yang satu dengan tiang panjang lainnya. Pendeknya, rukun panjang yang menjadi tujuan utama shalat adalah rukuk dan sujud.
Adapun i’tidal hanya sebagai pemisah antara ruku’ dan sujud pertama. Demikian pula, duduk di antara dua sujud, ia hanyalah pemisah antara sujud pertama dan sujud kedua.
Jadi ruku dan sujud adalah rukun yang panjang (thawil) sedangkan i’tidal dan duduk diantara dua sujud adalah rukun yang pendek (qashir).
Artinya: “Jadi keduanya (duduk dan i’tidal), keduanya adalah rukun yang pendek. (Abu Bakar bin Muhammad Syatho ad-Dimyathi, I’anatuth Thalibin, [Darul Fikr, 1997], juz 1, hal 195.
Melalui penjelasan kitab I’anatuth Talibin, dapat diketahui bahwa ibu yang ragu-ragu telah membaca al-Fatihah atau belum, sedangkan imam yang sudah ruku diberi kesempatan untuk meninggalkan tiga rukun panjang imam. dibelakang.
Dalam hal ini makmum masih berdiri, imam telah melampauinya dalam melakukan (1) rukuk, (2) sujud pertama, dan (3) sujud kedua. Artinya, jemaah yang membaca al-Fatihah tentang hal ini, diberikan kelonggaran sampai imam melakukan sujud kedua.
Jika jamaah membaca al-Fatihah lebih awal dari batas waktu toleransi, misalnya sampai imam berdiri untuk mengerjakan rakaat berikutnya, maka shalat jamaah menjadi batal karena terlalu jauh tertinggal.
Solusinya, jika waktu tidak cukup, jemaah bisa berniat memisahkan diri dari imam jika dirasa tidak cukup waktu. Yang penting jangan batal sholat di tengah begitu saja.
Selanjutnya bagaimana jika keraguan ibu tentang membaca al-Fatihah muncul ketika ibu sudah rukuk ‘, imam juga sudah rukuk’? Jika ibu ragu-ragu padahal sudah sujud ke belakang, ibu wajib mengikuti shalat imam.
Setelah imam menghormat, dia hanya mengganti jumlah rakaat yang dia ragukan sudah membaca al-Fatihah atau belum.
Syekh Nawawi melanjutkan dalam bukunya:
Artinya: “Jika keragu-raguan ibu muncul setelah dia ruku’ dan imam juga rukuk’, maka jamaah dilarang berdiri lagi untuk membaca al-Fatihah, tetapi dia harus shalat menurut imamnya, kemudian setelah imam selesai. , dia menambahkan rakaat menurut Imam. hitung berapa rakaat yang dia ragukan.” (Syekh Nawawi, Nihayatuz Zain hal. 51)
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa seorang makmum yang ragu-ragu apakah dirinya telah membaca atau belum, dikutuk tidak membaca.
Jika keraguan ini muncul sebelum ia rukuk, maka ia tetap harus membaca al-Fatihah dengan toleransi waktu yang harus diselesaikan hingga sujud kedua imam.
Jika keragu-raguannya keluar ketika dia dalam posisi ruku’, dia harus mengikuti gerakan imam, kemudian setelah imam memberi salam, dia menggantikan rakaat yang dia ragukan dengan bacaan fatihah. Wallahu a’lam.