Hukum Onani dan Masturbasi Menurut Hukum Islam

Diposting pada

Dalam kajian fiqih, onani atau masturbasi dikenal dengan isitlah istimna‘. Istimna’ adalah mengeluarkan air mani tanpa melalui persetubuhan dengan tujuan memenuhi dorongan seksual. Onani dan masturbasi umumnya dilakukan dengan menggunakan tangan sendiri atau orang lain. Lalu bagaimana hukum onani dan masturbasi menurut hukum islam? Berikut ulasannya.

Hukum Onani dan Masturbasi

Dikutip dari kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, mayoritas ulama fiqih membolehkan istimna’, baik dengan syarat dilakukan dengan pasangan yang sah serta tidak ada hal-hal yang menghalangi. seperti haid, nifas, puasa, i’tikaf atau haji. Sebab, pasangan adalah tempat bersenang-senang dan menyalurkan kebutuhan seksual yang dibenarkan syariat.

Sedangkan istimna’ dengan tangan sendiri, baik laki-laki maupun perempuan, hukumnya masih diperdebatkan oleh para ulama. Ada ulama yang mengharamkan secara mutlak. Ada juga yang mengharamkan dengan syarat tertentu, dan membolehkan dengan syarat lain. Namun, ada juga yang memakruhkannya.

Hukum Onani dan Masturbasi Menurut Ulama Syafi’i

Ulama Syafi’i mengharamkannya secara mutlak.

Setidaknya ada tiga ayat Al-quran yang menunjukan keharaman onani dan masturbasi.

QS. al-Mu’minun Ayat 5-6

Artinya: dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki. Sesungguhnya mereka tidak tercela (karena menggaulinya).

Mereka yang keluar dari ketentuan ayat tersebut telah melampaui batas, melanggar ketentuan Allah, dan keluar dari fitrah, sebagaimana dalam lanjutan ayat tesebut.

QS. al-Mu’minun Ayat 7

Artinya: Maka, siapa yang mencari (pelampiasan syahwat) selain itu, mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.

Selain itu, Allah juga memerintahkan orang-orang yang belum mampu menikah untuk bersabar menahan hawa nafsu dan hasrat seksualnya sampai Dia memberi mereka kemampuan dan kemudahan untuk menikah dengan rahmat-Nya,

QS. an-Nur Ayat 33

Artinya: Orang-orang yang tidak mampu menikah, hendaklah menjaga kesucian (diri)-nya sampai Allah memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya.

Dengan demikian, menurut ulama Syafi’i, istimna (onani atau onani) adalah kebiasaan buruk yang dilarang oleh Al-Qur’an dan Sunnah. Hanya saja dosa onani lebih ringan dari pada zina karena bahayanya tidak sebesar zina, seperti kekacauan dalam garis keturunan, dan sebagainya.

Onani dan Masturbasi Menurut Ulama Maliki

Senada dengan pendapat ulama Syafi’i, ulama Maliki pun mengharamkan onani dan mastrurbasi.

Ulama Maliki berpendapat tentang larangan istimna’ dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,

Artinya: Wahai para pemuda, barang siapa diantara kalian yang sudah mampu ba’at (menikah), maka menikahlah! Sebab, menikah itu lebih mampu menjaga pandangan dan memelihara kemaluan. Namun, siapa saja yang tidak mampu, maka sebaiknya ia berpuasa. Sebab, berpuasa adalah penekan nafsu syahwat baginya,” (HR Muslim).

Ulama maliki juga memberi alasan tentang keharaman onani dengan dalih jika syariat islam membolehkannya, maka sudah tentu Nabi akan menyarankannya, karena onani lebih mudah daripada puasa. Diamnya beliau adalah bukti bahwa onani itu haram.

Alasan para ulama Syafi’i dan ulama Maliki mengenai keharaman onani akan lebih kuat bila mengingat hadits berikut ini:

Artinya, “Orang tersebut yang menikah dengan tangannya akan datang pada hari kiamat dengan tangan terikat,” (HR al-Baihaqi).

Onani dan Masturbasi Menurut Ulama Hanafi

Adapun yang mengharamkan dengan syarat tertentu dan membolehkan dengan syarat lain datang dari ulama Hanafi. Mereka membolehkan apabila dorongan nafsu itu sangat kuat, sedangkan tidak ada pasangan yang sah untuk menyalurkannya serta khawatir terjerumus dalam jurang perzinaan. Maka dalam kondisi tersebut istimna’ hukumnya boleh.

Untuk mencapai kemaslahatan umum dan menolak bahaya yang lebih besar dengan mengambil sesuatu (antara dua) yang lebih sedikit berbahaya.

Bahkan, Ibnu ‘Abdidin dari ulama Hanafi menyatakan bahwa ismina adalah wajib jika yakin bahwa ia mampu membebaskannya dari perzinahan.

Hal ini sejalan dengan qaidah:

Artinya:”Meraih kemaslahatan umum dan menolak bahaya yang lebih besar dengan mengambil sesuatu (antara dua perkara) yang lebih ringan bahayanya.”

Singkatnya, pendapat ulama Hanafi ini memiliki dua sisi: pertama boleh karena keadaan darurat, dan haram karena masih ada jalan keluar yang terbaik, yaitu puasa.

Hukum Onani dan Masturbasi Menurut Ulama Hanbali

Menurut ulama Hanbali, hukum onani dan mastrubasi adalah haram kecuali karena ia takut terjerumus ke dalam zina, atau karena ia takut akan kesehatannya, baik lahir maupun batin, sedangkan istrinya tidak ada dan tidak mampu untuk menikah. Jadi, istimna tidak masalah baginya.

Bahkan, menurut sebagian ulama Basrah, orang yang sudah menikah pun boleh istimna’ ketika sedang dalam perjalanan.

Karena dalam kondisi ini, ia akan lebih mampu menjaga pandangan dan perbuatan zina.

Yang terakhir adalah pendapat Ibn Hazam, ebagian pendapat Hanafi, sebagian pendapat Syafi’i, dan sebagian pendapat Hanbali, mereka memakruhkan melakukan istimna.

Istimna’ makruh karena Allah ta’ala tidak menjelaskan keharamannya secara eksplisit.

Sehingga ia hanya merupakan akhlak yang tidak mulia dan perangai yang tidak utama.

Berdasarkan uraian tadi, mayoritas ulama memandang istimna’, baik laki-laki maupun oleh perempuan sebagai suatu perbuatan yang tidak terpuji, melampaui batas, dan melanggar fitrah manusia. Tak heran jika para ulama Maliki dan Syafi’i melarangnya.

Meskipun ada pendapat yang memperbolehkan hanya dalam kondisi darurat atau mengambil bahaya yang lebih ringan dari dua bahaya yang ada.

Wallahu a’lam.

Sumber: https://islam.nu.or.id/nikah-family/onani-dan-masturbasi-according to-law-islam-nGyre

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *