Setelah terjalinnya ikatan pernikahan, seorang istri mendapatkan hak atas suami. Istri memiliki sejumlah keistimewaan yang harus terpenuhi oleh suami. Maka dari itu, pada artikel ini kita akan sama-sama memahami apa saja hak istri terhadap suami dalam pernikahan.
Hak Istri Terhadap Suami Dalam Pernikahan
Istri merupakan pasangan hidup yang berhak mendapatkan perlakuan yang baik dari suami. Seorang suami yang baik sudah seharusnya memenuhi hak-hak istri. Setidaknya ada tiga hak istri yang harus terpenuhi, yaitu hak mahar, hak nafkah dan hak mut’ah.
1. Hak Mahar
Yang pertama, hak istri terhadap suami dalam pernikahan adalah Mahar.
Mahar atau “shadaq” adalah sejumlah harta yang wajib diberikan oleh seorang suami kepada istrinya sebagai akibat dari akad pernikahan.
Salah satu dalil yang mewajibkan mahar adalah ayat Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 4.
Artinya: “Berikanlah mahar kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan”.
Seorang suami ataupun wali tidak berhak atas mahar tersebut. Yang berhak hanyalah istri. Adapun suami dan wali hanya boleh memegang serta memelihara mahar tanpa niat memiliki atau menggunakannya.
Hal ini sesuai dengan firman Allah surat an-Nisa ayat 20:
Nominal Mahar
Bagi suami, tidak ada batasan minimal ataupun maksimal dalam memberikan mahar. Begitupun jenisnya.
Mahar itu bisa berupa benda ataupun jasa yang dapat dinilai dengan uang. Mahar juga bisa tunai atau utang. Harus memiliki manfaat dan tidak bertentangan dengan syariat islam.
Nabi pernah bersabda “Beri dia mas kawin bahkan jika itu adalah cincin besi.”
Namun, para ulama menyarankan, jumlah mahar tidak kurang dari 10 dirham dan tidak lebih dari 500 dirham. Satu dirham itu setara dengan 185.000 rupiah.
Ada juga yang berpendapat, satu dirham sama atau 0,4 gram emas, jadi 500 dirham sama dengan 200 gram, tentu 200 gram adalah emas 24 karat terbaik.
Dalam kitab Hasyiyah al-Bajuri, jilid 2, hal. 120, batas maksimal 500 dirham sama dengan nilai mahar Nabi ketika menikah dengan Sayyidah ‘Aisyah.
Riwayat lain menyatakan, ketika Nabi menikah dengan Sayyidah Khadijah, ia memberikan mahar 20 ekor unta.
Ketika menikah dengan Ummu Habibah, dia memberikan mahar sebesar 4000 dirham.
Sedangkan ketika menikah dengan Sayyidah Syafiyah, ia memberikan mahar berupa pembebasan.
Meski tidak dalam bentuk material, namun nilainya diperkirakan mencapai miliaran rupiah.
Keterangan di atas menunjukkan bahwa Nabi memberikan contoh terbaik dalam memberikan mahar yang berharga.
Artinya, barang siapa yang mampu memberikan mahar yang paling baik kepada istrinya, maka lakukanlah, karena sebaik-baik laki-laki adalah yang memberikan mahar terbesar kepada istrinya. Jika tidak, maka berikanlah sesuai kemampuan.
Kendati demikian, seorang istri tidak boleh menuntut mahar di luar kemampuan calon suaminya. Hal ini sejalan dengan sabda Nabi Muhammad SAW dalam hadits :
Artinya, “Perkawinan yang paling berkah adalah yang paling ringan maharnya” (HR. Ahmad).
2. Hak Nafkah
Yang kedua, hak istri terhadap suami dalam pernikahan adalah Nafkah.
Nafkah adalah segala sesuatu atau penghasilan suami untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Nafkah meliputi sandang, pangan dan papan.
Syekh Az-Zuhayli menambahkan lauk pauk, alat kecantikan, peralatan rumah tangga, termasuk pembantu rumah tangga.
Para ulama sepakat tentang kewajiban suami menafkahi istrinya berdasarkan firman Allah surat At-Thalaq ayat 7:
Artinya, “Hendaklah orang yang mampu menafkahi sesuai dengan kemampuannya. .Orang yang sempit rezekinya hendaklah mencari nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak membebani seseorang melainkan hanya apa yang diberikan Allah kepadanya”.
Riwayat Mu’awiyah al-Qusyairi menyebutkan bahwa dia bertanya kepada Nabi tentang hak-hak istrinya. Dia menjawab, “Kamu memberinya makan ketika kamu makan. Kamu beri dia pakaian jika kamu punya pakaian,” (HR Ahmad).
Berdasarkan Al-Qur’an dan hadits tersebut, hak istri dari suaminya adalah tempat tinggal, makanan, dan pakaian.
Syekh Mustafa Al-Khin berkata:
Artinya, “Setelah dirinya sendiri, suami harus mendahulukan istrinya, menafkahi istri lebih utama karena mata nafkah nya tidak gugur seiring berjalannya waktu. Artinya, apabila suami tidak menafkahi istri, maka selama itu pula ia berhutang kepada istrinya.
Berbeda halnya dengan nafkah untuk orang tua atau anak-anak. Karena nafkah mereka gugur seiring berjalannya waktu.
Baca juga: rukun nikah
Jumlah Nafkah
Adapun besaran nafkah, para ulama berbeda pendapat.
Imam Malik dan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa besarnya nafkah sesuai dengan kemampuan suami dan kebutuhan istri.
Sementara Imam Syafi’i menyatakan besarnya nafkah ditentukan syariat, yaitu dua mud untuk suami yang berkecukupan, satu setengah mud untuk suami kelas menengah, dan satu mud untuk suami yang miskin. (1 mud beras putih sama dengan 679,79 gr).
Namun untuk kebutuhan lain, imam syafii tidak menetapkan besarannya.
Suami tidak perlu memaksakan diri melebihi kemampuannya. Yang penting adalah Ia telah berusaha sebaik mungkin untuk memenuhi kewajiban hidup nya.
3. Mut’ah
Yang ketiga, hak Istri terhadap suami dalam pernikahan adalah Mut’ah.
Mut‘ah yang dimaksud adalah pemberian suami kepada istri yang diceraikannya sebagai pelipur.
Suami harus menyerahkan mut’ah kepada istrinya apabila:
a. Suami menceraikan istrinya setelah hubungan badan.
b. Suami menceraikan sebelum hubugan badan, tetapi mahar tidak terucap pada saat akad nikah.
c. Jika pengadilan yang memutuskan untuk bercerai, sedangkan alasan perceraian berasal dari pihak suami, seperti murtad atau sumpah li’an, dan perceraian tersebut setelah terjadinya hubungan badan serta mahar tidak terucap dalam akad nikah.
Sedangkan apabila perceraian itu terjadi sebelum terjadinya hubungan biologi dan maharnya disebutkan dalam akad, maka tidak ada hak mut’ah bagi istri kecuali separuh dari mahar.
Dalil mut’ah
Para ulama Syafi’i, bahwa mut’ah tidak kurang dari tiga puluh dirham atau yang setara, tetapi tidak lebih dari setengah dari mahar mistsil.
Kemudian, apabila terjadi perselisihan antara suami istri tentang besaran mut’ah, Maka hakim dapat memutuskan menurut keadaan dan pertimbangannya.
Akhirnya, hak mut’ah ini dapat gugur dalam keadaan apapun di mana mahar hilang, seperti istri murtad atau menuntut pembatalan perkawinan (fasakh) selama tidak ada hubungan intim.
Demikian pula mahar dan mut’ah gugur jika istri merelakan atau menghibahkan kepada suaminya.
Sumber: https://islam.nu.or.id/nikah- Keluarga/hak-istri-dalam-perkawinan-drfCa