5 Rukun Nikah dan Syarat Sah Nikah Dalam Islam

Diposting pada

Bagi pasangan muslim yang hendak menikah, hendaknya mengetahui syarat dan rukun nikah agar pernikahannya sah baik secara hukum serta agama Islam.

Islam memandang SAH suatu pernikahan apabila terpenuhinya syarat dan rukun nikah. Kedua unsur tersebut sangat mendasar dan tidak boleh terlewati.

Rukun nikah berarti bagian dari nikah itu sendiri, yang mana ketiadaan salah satu diantaranya akan membuat nikah tersebut menjadi tidak sah.

Rukun Nikah

Nikah bisa sah apabila memenuhi syarat dan rukun nikah. Dalam pernikahan ada lima rukun nikah yang wajib ada, yaitu:

  1. Calon isteri,
  2. Calon suami,
  3. Wali,
  4. Dua saksi,
  5. Dan shigat nikah (Ijab dan Qobul).

Syaikh Zakaria al-Anshari dalam kitab Fathul Wahab bi Syarhi Minhaj al-Thalab mengatakan:

Rukun nikah ada lima, yaitu mempelai pria, mempelai wanita, wali, dua saksi, dan ijab qobul atau shighat.

Dari pemaparan ini bisa kita pahami bahwa rukun nikah ada lima, yakni:

Mempelai pria

Mempelai pria atau calon suami harus memenuhi syarat sebagaimana yang termaktub dalam kitab Fathul Wahab bi Syarhi Minhaj al-Thalab.

  و شرط في الزوج حل واختيار وتعيين وعلم بحل المرأة له

“Syarat calon suami ialah halal menikahi calon istri (yakni Islam dan bukan mahram), kehendak sendiri, tertentu, dan tahu akan kehalalan calon istri baginya.”

Mempelai wanita

Mempelai wanita ialah calon istri yang halal dinikahi oleh mempelai pria.

Seorang laki-laki tidak boleh menikahi perempuan yang masuk kategori haram dinikahi (mahram) . Keharaman itu bisa jadi karena nasab / ikatan darah, Radha’ / hubungan persusuan, atau Mushoharah / hubungan kemertuaan.

Baca juga: Wanita yang haram dinikahi (Mahram)

Wali Nikah

Wali ialah orang tua mempelai wanita, baik ayah, kakek maupun pamannya dari pihak ayah (‘amm), dan pihak-pihak lainnya.

Secara berurutan yang berhak menjadi wali adalah;

  1. Ayah,
  2. Kakek (ayahnya ayah),
  3. Buyut (ayahnya kakek) dan seterusnya.

Kakek yang lebih dekat dengan wanita yang hendak dinikahkan harus didahulukan daripada kakek yang lebih jauh.

  1. Saudara lelaki kandung (adik atau kakak).
  2. Saudara lelaki seayah.
  3. Keponakan kandung (anak laki-lakinya saudara laki-laki seayah seibu hingga ke bawah).
  4. Keponakan seayah (anak laki-lakinya saudara laki-laki seayah hingga ke bawah).
  5. Paman kandung (saudara laki-laki ayah)
  6. Paman seayah (saudara laki-laki ayah yang seayah dengan ayah).
  7. Sepupu (anak laki-laki paman), walaupun hingga ke bawah sesuai dengan urutan di atas.

Harus mendahulukan sepupu yang seayah seibu dari pada Sepupu yang seayah saja.

Jika ahli ashabah dari jalur nasab sudah tidak ada, maka yang berhak menikahkan adalah majikan laki-laki yang telah memerdekakannya.

Kemudian ahli ashabah majikan tersebut sesuai dengan urutan di dalam masalah warisan.

Kemudian seorang hakim berhak menikahkan ketika wali dari jalur nasab dan wala’ sudah tidak ada.

.

Dua saksi

Rukun nikah selanjutnya adalah adanya dua saksi yang memenuhi syarat berikut:

  1. Islam
  2. Baligh
  3. Berakal
  4. Lelaki
  5. Merdeka
  6. Adil

Syarat ini juga berlaku untuk wali nikah!

Shighat (Ijab dan Qobul)

Shighat meliputi ijab dari wali dan qabul dari mempelai pria atau perkawilan keduanya.

Syarat ijab dan Qobul

1. Harus dengan lafadz “Zawwajtuka/Ankahtuka

Zawwajtuka/Ankahtuka artinya (aku kawinkan/saya nikah kan) dengan wanita perwalian ku si fulanah.

Ijab tidak sah dengan lafadz selain kedua diatas, karena berdasarkan hadits yang di riwayatnya oleh imam muslim.

Ijab dan qobul tidak sah dengan kinayah, contoh engkau ku halalkan atas putriku atau dia ku akadkan untukmu.

contoh ijab nikah bahasa arab

2. Antara Ijab dan Qobul Harus Bersambung

Syarat ijab dan qobul nikah harus bersambung. Maksudnya, antara ijab dan qobul tidak boleh ditengahi lafadz atau kata-kata yang tidak ada hubungannya dengan nikah, meskipun hanya sedikit.

Contoh ijab yang tidak sah : “Aku nikahkan kamu dengan anak/putriku, maka wasiatilah ia dengan baik“.

Tidak menjadi masalah adanya khotbah pendek yang dibacakan oleh suami yang menengahi antara ijab dan qobul, sekalipun hukum khutbah tersebut tidaklah sunnah.

Bahkan imam As subky dan Ibnu Abisy Syarif yang mengatakan bahwa khotbah tersebut membuat akad nikah menjadi tidak sah.

Tidak menjadi masalah lagi ditengahi dengan ucapan “Maka katakanlah “kuterima nikahnya” karena kalimat tersebut ada penyesuaian nya dengan akad.

Apabila sebelum calon suami mengucapkan qobul nikah, ternyata sang wali nikah menarik kembali ijab-nya atau calon istri menarik izinnya, maka calon suami tidak boleh mengucapkan ijab.

Harus ada kata yang menunjukan kepada calon istri

Menurut pendapat yang lebih shahih, dalam qobul nikah harus ada kata yang menunjukkan calon isteri, seperti menyebutkan nama calon istri, atau domir (kata ganti) atau isyaroh (kata tunjuk).

Seperti kata-kata “Qobiltu nikahahaa/tazwijahaa” (kuterima nikahnya/perkawinannya)” atau “rodhitu nikahahaa/tazwijahaa” (aku rela dengan nikahnya/perkawinannya).

Qaul mu’tamad menganggap SAH qobul nikah meskipun hanya dengan kata-kata “Qobiltu nikaha/tazwij” (kuterima nikah itu/perkawinan itu”).

Hukum Ijab dan Qobul dengan Bahasa Indonesia atau Terjemah

Ijab dan qobul nikah hukum nya SAH dengan menggunakan terjemah. Meskipun yang calon suami dan wali merupakan orang yang pandai bahasa arab.

Namun perlu dicatat!

Ada syarat yang harus terpenuhi jika memang ingin menggunakan bahasa selain arab.

Pertama; bahasa tersebut di nilai sebagai shigot nikah yang jelas menurut ahli bahasa yang bersangkutan. Kedua; wali dan calon suami serta saksi memahami bahasa tersebut.

Ada juga yang berpendapat bahwa; “akad nikah tidak sah dengan selain bahasa arab,”.

Jika kita berpijak dengan pendapat ini, maka bagi calon pengantin pria dan wali harus mempelajari bahasa arab terlebih dahulu, atau bisa juga menyerahkan akad nikah kepada orang yang mampu berbahasa arab.

Dalam kitab Syarah Irsyad dan Minhaj, guru kita berkata : “tidak menjadi masalah ada nya LAHN (ketidak benaran dalam ucapan) pada orang awam, misalnya membaca fathah “TA” domir mutakallim, dan mengganti huruf jim dengan zay atau sebaliknya.

Ijab dan Qobul Nikah Bagi Orang Bisu

Akad nikah orang bisu sudah menjadi sah dengan isyarat yang memahamkan.

Hukum Ijab Qobul Nikah Lewat Video Call

Ijab qabul nikah melalui Video Call dan tidak dalam satu majlis (jarak jauh = beda lokasi) maka hukumnya tidak sah. Karena syarat sah akad nikah adalah hadirnya empat orang dalam satu majelis atau tempat, yaitu wali atau wakilnya, calon mempelai pria, dua orang saksi yang melihat serta mendengar ijab dan qobul.

Solusi terbaik adalah calon mempelai pria mewakilkan ijab kepada orang lain yang ada dimajelis akad. Jadi ijab qobul tidak perlu lewat video call.

Referensi :

  1. Kifayatul Akhyar Juz II
  2. Tuhfatul Habib ala Syarhil Khathib juz III
  3. Hasyiah Bujairimi ‘Ala Khatib Juz III
  4. Al-Fiqhu ala Madzahibil Arba’ah juz IV
  5. Fiqhussunah juz II

Orang Bisu Menjadi Saksi Nikah

Dalam kitab Fathul Wahab dan Hasyiah Jamal, syarat saksi nikah harus bisa berbicara.

Jika kita melihat pada itu, maka tidak sah nikah apabila saksi nya bisu.

Bagi dua orang saksi nikah (sebagaimana saksi dalam bab lain) ada beberapa syarat harus terpenuhi antara lain; merdeka, baligh, berakal, punya muru-ah / kedewasaan, terjaga, bisa berbicara, bukan orang yang disangka bodoh, dan bukan orang diragukan sifat adilnya.

Sementara menurut Malikiyah dan Muqobil Ashah Syafi’iyah mengatakan bahwa nikah tetap sah meskipun saksi tsb tidak mampu berbicara, asalkan ia mampu berkomunikasi melalui isyarah maupun tulisan.

Referensi:

  1. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah
  2. Hasyiyah Al-Jamal
  3. Al-‘Aziz Syarah Al-Wajiz
  4. Hasyiyah Al-Qulyubi III
  5. Kifayatun Nabih Fi Syarhit Tanbih
  6. Roudlotut Tholibin XI

Anak kandung menjadi wali nikah Ibunya

Ulama memperselisihkan pendapat mengenai Anak kandung yang menjadi wali nikah ibu nya. Jumhur ulama (madzhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali) dan Imam al-Muzani dari kalangan Syafi’iyyah memperbolehkan seorang anak menjadi wali nikah ibu.

Berbeda dengan  imam Syafi’i dan ulama-ulama yang berafiliasi kepada madzhab Syafi’i. Mereka tidak memperbolehkan seorang anak menjadi wali nikah ibunya kecuali anak tersebut kedudukannya sebagai anak anaknya paman / cucu laki-laki pamannya perempuan dari jalur laki-laki (ibn ibni ammiha), orang yang memerdekakan, hakim atau penghulu, dan wakil dari walinya ibu.

Referensi : Syarh Al-Yaqut An-Nafis halaman 585-586