Hukum Nikah – Dalam ajaran Islam, nikah merupakan ibadah yang sangat dianjurkan oleh Rasulullah saw bagi mereka yang mampu melaksanakannya.
Secara bahasa berarti “berkumpul”. Sedangkan menurut istilah syariat islam, pengertian nikah adalah suatu akad yang menyimpan makna diperbolehkannya melakukan hubungan badan dengan menggunakan lafadz nikah atau sejenisnya.
Syekh Zakariya Al-Anshari dalam kitab Fathul Wahab
: كتاب النكاح. هُوَ لُغَةً الضَّمُّ وَالْوَطْءُ وَشَرْعًا عَقْدٌ يَتَضَمَّنُ إبَاحَةَ وَطْءٍ
بِلَفْظِ إنْكَاحٍ أَوْ نَحْوِهِ
Hukum Nikah Dalam Islam
Dari sudut pandang hukum Islam, Sa‘id Mushtafa Al-Khin dan Musthafa al-Bugha, dalam kitab yang berjudul Al-Fiqhul Manhaji ‘ala Madzhabil Imamis Syâfi’i menjelaskan:
حُكم النِكَاحِ شَرْعُا للنكاح أحكام متعددة، وليس حكماً واحداً، وذلك تبعاً للحالة التي يكون عليها الشخص
Artinya, “Nikah memiliki hukum yang berbeda-beda, tidak hanya satu. Hal ini mengikuti kondisi seseorang (secara kasuistik),”
Dari keterangan dalam kitab tersebut, bisa kita pahami bersama bahwa hukum nikah dalam islam akan berbeda sesuai dengan keadaan atau kondisi seseorang dan bersifat khusus, sehingga hukum nikah tidak bisa di samarata kan.
Lebih lanjut, Sa‘id Musthafa Al-Khin dan Musthafa Al-Bugha dalam kitab itu memerinci hukum-hukum tersebut sebagai berikut:
- Sunah
Hukum nikah adalah sunah bagi seseorang yang sudah mampu. Ini merupakan hukum asal dari pernikahan, karena Rasulullah sangat menganjurkannya. Sebagaimana hadits Nabi riwayat Al-Bukhari nomor 4779 berikut ini:
يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج، فإنه أغض للبصر وأحصن للفرج، ومن لم يستطع فعليه بالصوم، فإنه له وجاءٌ
Artinya, “Wahai para pemuda, jika kalian telah mampu, maka menikahlah. Sungguh menikah itu lebih menenteramkan mata dan kelamin. Bagi yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa bisa menjadi tameng baginya.”
- Sunah Ditinggalkan
Nikah sebaiknya tidak dilaksanakan bagi seseorang yang menginginkannya namun tidak memiliki biaya untuk nikah dan tidak mampu menafkahi istri .
Dalam kondisi ini sebaiknya ia menyibukkan diri untuk mencari nafkah, beribadah dan berpuasa sambil berharap semoga Allah mecukupinya hingga memiliki kemampuan.
Hal ini senada dengan firman Allah SWT Surat An-Nur ayat 33:
وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحاً حَتَّى يُغْنِيَهُمْ اللَّهُ مِن فَضْلِه
Artinya, “Dan orang-orang yang tidak mampu menikah, hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sampai Allah memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya.”
Dalam konteks ini, jika orang tersebut tetap memaksakan diri, maka ia termasuk orang yang melakukan tindakan khilaful aula / menyelisihi keutamaan, yakni kondisi hukum ketika seseorang meninggalkan apa yang lebih baik untuk dirinya.
- Makruh
Hukum nikah makrub bagi seseorang yang tidak menginginkannya. Baik itu karena perwatakan atau karena sebab penyakit, selain itu ia juga tidak memiliki kemampuan untuk menafkahi istri dan keluarganya. Jika memaksakan diri, dikhawatirkan tidak tertunaikan nya hak dan kewajiban dalam pernikahan.
- Lebih Utama Tidak Menikah
Nikah lebih utama tidak menikah bagi seseorang yang sebenarnya memiliki kemampuan untuk menafkahi istri dan keluarganya, namun tidak membutuhkan pernikah dengan alasan sibuk mencari ilmu atau sebagainya.
- Lebih Utama Menikah
Hukum ini berlaku bagi seseorang yang memiliki kemampuan untuk menafkahi istri dan keluarganya, serta sedang tidak sibuk mencari ilmu atau beribadah. Maka orang tersebut sebaiknya melaksanakan nikah.
Hukum Nikah Dalam Kitab Qurratul ‘Uyuun
Dalam kitab Quratul Uyun karya Syaikh Al-hammam Abi Muhammad Sayid Qosim
Kemudian, sesungguhnya hukum nikah terbagi menjadi 5 hukum sesuai dengan kondisi:
- Wajib, bagi orang yang menginginkan keturunan, serta takut terjerumus kedalam perzinahan apabila tidak menikah.
- Sunah, bagi orang yang mengharapkan anak, dan ia tidak khawatir akan berbuat zina( jika tidak nikah), baik dia menginginkan pernikahan atau tidak, sekalipun karena pernikahannya tersebut ia terputus dari ibadah yang tidak wajib.
- Makruh, bagi orang yang tidak ingin menikah dan tidak menginginkan keturunan, serta pernikahannya dapat memutuskan ibadah yang tidak wajib.
- Mubah atau Boleh, bagi orang yang tidak takut melakukan perzinahan, tidak mengharapkan keturunan, dan tidak memutuskan ibadah yang tidak wajib.
- Haram, nikah haram bagi laki-laki yang membahayakan wanita, karena ia tidak mampu melakukan hubungan badan, tidak mampu menafkahi istri dan anaknya atau memiliki pekerjaan haram, meskipun ia ingin menikah serta tidak takut berbuat zina.
Pembagian hukum nikah dalam islam ini juga berlaku bagi seorang wanita. Ibnu Arofah menambahkan hukum yang lain dalam wajibnya nikah bagi wanita yang lemah dalam memelihara dirinya dan tidak ada benteng lain kecuali dengan nikah.